Suami
Dambaan Para Bidadari
“Aku benar-benar melihat malaikat sedang memandikan Hanzhalah
di antara langit dan bumi dengan air dari awan dalam sebuah tempat besar
terbuat dari perak.” Sahabat Urwah ra menegaskan kesaksiannya tentang
kesyahidan Hanzhalah di perang Uhud.
Mekkah menggelegak terbakar kebencian terhadap orang-orang
Muslim karena kekalahan mereka di Perang Badar dan terbunuhnya sekian banyak
pemimpin dan bangsawan mereka saat itu. Hati mereka membara dibakar keinginan
untuk menuntut balas. Bahkan karenanya Quraisy melarang semua penduduk Mekah
meratapi para korban di Badar dan tidak perlu terburu-buru menebus para
tawanan, agar orang-orang Muslim tidak merasa di atas angin karena tahu
kegundahan dan kesedihan hati mereka.
Hingga tibalah saatnya Perang Uhud. Di antara pahlawan perang
yang bertempur tanpa mengenal rasa takut pada waktu itu adalah Hanzhalah bin
Abu Amir. Nama lengkapnya Hanzhalah bin Abu ‘Amir bin Shaifi bin Malik bin
Umayyah bin Dhabi’ah bin Zaid bin Uaf bin Amru bin Auf bin Malik al-Aus
al-Anshory al-Ausy. Pada masa jahiliyah ayahnya dikenal sebagai seorang
pendeta, namanya Amru.
Suatu hari ayahnya ditanya mengenai kedatangan Nabi dan
sifatnya hingga ketika datang, orang-orang dengan mudahnya dapat mengenalnya.
Ayahnya pun menyebutkan apa yang ditanyakan. Bahkan secara terang-terangan
dirinya akan beriman dengan kenabian itu. Ketika Allah turunkan Islam di
jazirah Arab untuk menuntun jalan kebenaran melalui nabi terakhir. Justru
dirinya mengingkarinya. Bahkan dirinya hasud dengan kenabian Muhammad. Tak lama
kemudian Allah bukakan hati anaknya, Hanzhalah untuk menerima kebenaran yang
dibawa Rasulullah. Sejak itulah jiwa dan raganya untuk perjuangan Islam.
Kebencian ayahnya terhadap Rasulullah membuat darahnya naik
turun. Bahkan meminta izin Rasulullah untuk membunuhnya. Tapi Rasulullah tidak
mengizinkan. Sejak itulah keyakinan akan kebenaran ajaran Islam semakin
menancap di relung hatinya. Seluruh waktunya digunakan untuk menimba ilmu dari
Rasulullah.
Di tengah kesibukkannya mengikuti da’wah Rasulullah yang
penuh dinamika, tak terasa usia telah menghantarkannya untuk memasuki fase
kehidupan berumah tangga. Disamping untuk melakukan regenerasi, tentu ada
nikmat karunia Allah yang tak mungkin terlewatkan.
Hanzhalah menikahi Jamilah binti Abdullah bin Ubay bin Salul,
anak sahabat bapaknya. Mertuanya itu dikenal sebagai tokoh munafik,
menyembunyikan kekafiran dan menampakkan keimanan. Dia berpura-pura membela
Nabi saw dalam Perang Uhud; namun ketika rombongan pasukan muslim bergerak ke
medan laga, ia menarik diri bersama orang-orangnya, kembali ke Madinah.
Sementara itu Madinah dalam keadaan siaga penuh. Kaum
muslimin sudah mencium gelagat dan gerak-gerik rencana penyerangan oleh pasukan
Abu Shufyan. Situasi Madinah sangat genting.
Namun walau dalam situasi seperti itu, Hanzhalah dengan
tenang hati dan penuh keyakinan akan melangsungkan pernikahannya. Sungguh
tindakannya itu merupakan gambaran sosok yang senantiassa tenang menghadapi
berbagai macam keadaan.
Hanzhalah menikahi Jamilah, sang kekasih, pada suatu malam
yang paginya akan berlangsung peperangan di Uhud. Ia meminta izin kepada Nabi
saw untuk bermalam bersama istrinya. Ia tidak tahu persis apakah itu pertemuan
atau perpisahan. Nabi pun mengizinkannya bermalam bersama istri yang baru saja
dinikahinya.
Mereka memang baru saja menjalin sebuah ikatan. Memadu segala
rasa dari dua lautan jiwa. Berjanji, menjaga bahtera tak akan karam walau kelak
badai garang menghadang. Kini, dunia seakan menjadi milik berdua. Malam pertama
yang selalu panjang bagi setiap mempelai dilalui dengan penuh mesra. Tak
diharapkannya pagi segera menjelang. Segala gemuruh hasrat tertumpah. Sebab,
sesuatu yang haram telah menjadi halal.
Langit begitu mempesona. Kerlip gemintang bagaikan menggoda
rembulan yang sedang kasmaran. Keheningannya menjamu temaramnya rembulan,
diukirnya do’a-do’a dengan goresan harapan, khusyu’, berharap regukan kasih
sayang dari Sang Pemilik Cinta. Hingga tubuh penat itupun bangkit, menatap
belahan jiwa dengan tatapan cinta. Hingga, sepasang manusia itu semakin dimabuk
kepayang.
Indah…
Sungguh sebuah episode yang teramat indah untuk dilewatkan. Namun disaat sang pengantin asyik terbuai wanginya aroma asmara, seruan jihad berkumandang dan menghampiri gendang telinganya.
Sungguh sebuah episode yang teramat indah untuk dilewatkan. Namun disaat sang pengantin asyik terbuai wanginya aroma asmara, seruan jihad berkumandang dan menghampiri gendang telinganya.
“Hayya ‘alal jihad… hayya ‘alal jihad…!!!”
Pemuda yang belum lama menikmati indahnya malam pertama itu
tersentak. Jiwanya sontak terbakar karena ghirah. Suara itu terdengar
sangat tajam menusuk telinganya dan terasa menghunjam dalam di dadanya. Suara
itu seolah-olah irama surgawi yang lama dinanti. Hanzalah harus mengeluarkan
keputusan dengan cepat. Bersama dengan hembusan angin fajar pertama, Hanzhalah
pun segera melepaskan pelukan diri dari sang istri.
Dia segera menghambur keluar, dia tidak menunda lagi
keberangkatannya, supaya ia bisa mandi terlebih dahulu. Istrinya meneguhkan
tekadnya untuk keluar menyambut seruan jihad sambil memohon kepada Allah agar
suaminya diberi anugerah salah satu dari dua kebaikan, menang atau mati syahid,
Dia berangkat diiringi deraian air mata kekasih yang
dicintainya. Ia berangkat dengan kerinduan mengisi relung hatinya. Kerinduan
saat-saat pertama yang sebelumnya sangat dinantikannya, saat mereka berdua
terikat dalam jalinan suci. Namun semua itu berlalu bagaikan mimpi. Hanzalahpun
akhirnya berangkat menuju medan laga untuk memenangkan cinta yang lebih besar
atas segalanya. Bahkan untuk meraih kemenangan atas dirinya sendiri.
Kenikmatan yang bagai tuangan anggur memabukkan tak akan
membuatnya terlena. Sehingga, iringan do’alah yang mengantar kepergiannya ke
medan jihad. Dia bergegas mengambil peralatan perang yang memang telah lama
dipersiapkan. Baju perang membalut badan, sebilah pedang terselip dipinggang.
Siap bergabung dengan pasukan yang dipimpin Rasulullah saw.
Berperang bersama Hamzah, Abu Dujanah, Zubayr, Muhajirin dan
Anshar yang terus berperang dengan yel-yel, seolah tak ada lagi yang bisa
menahan mereka. Bulu-bulu putih pakaian Ali, surban merah Abu Dujanah, surban
kuning Zubayr, surban hijau Hubab, melambai-lambai bagaikan bendera kemenangan,
memberi kekuatan bagi barisan di belakangnya.
Tubuh Hanzhalah yang perkasa serta merta langsung berada di
atas punggung kuda. Sambil membenahi posisinya di punggung kuda, tali kekang
ditarik dan kuda melesat secepat kilat menuju barisan perang yang tengah
bekecamuk. Tangannya yang kekar memainkan pedang dengan gerakan menebas dan
menghentak, menimbulkan efek bak hempasan angin puting beliung.
Musuh datang bergulung. Merimbas-rimbas. Tak gentar, ia
justru merangsek ke depan. Menyibak. Menerjang kecamuk perang. Nafasnya
tersengal. Torehan luka di badan sudah tak terbilang. Tujuan utama ingin
berhadapan dengan komandan pasukan lawan. Serang! Musuhpun bergelimpangan.
Takbir bersahut-sahutan. Lantang membahana bagai halilintar.
Berdentam. Mendesak-desak ke segenap penjuru langit. Hanzhalah terus melabrak.
Terjangannya dahsyat laksana badai. Pedangnya berkelebat. Suaranya
melenting-lenting. Kilap mengintai. Deras menebas. Berkali-kali orang Quraisy
yang masih berkutat dalam lembah jahiliyah itu mati terbunuh di tangannya.
Sementara itu, dari kejauhan Abu Sufyan melihat lelaki yang
gesit itu. Dia
ingin sekali mendekat dan membunuhnya, tetapi nyalinya belum juga cukup
untuk membalaskan dendam kepada pembunuh anaknya di perang Badar itu. Situasi berbalik, kali ini giliran Hanzhalah mendekati Abu Sufyan ketika teman-temannya justru melarikan diri ketakutan. Abu Sufyan terpaksa melayaninya dalam duel satu lawan satu. Abu Sufyan terjatuh dari kudanya. Wajahnya pucat, ketakutan.
ingin sekali mendekat dan membunuhnya, tetapi nyalinya belum juga cukup
untuk membalaskan dendam kepada pembunuh anaknya di perang Badar itu. Situasi berbalik, kali ini giliran Hanzhalah mendekati Abu Sufyan ketika teman-temannya justru melarikan diri ketakutan. Abu Sufyan terpaksa melayaninya dalam duel satu lawan satu. Abu Sufyan terjatuh dari kudanya. Wajahnya pucat, ketakutan.
Pedang Hanzhalah yang berkilauan siap merobek lehernya. Dalam
hitungan detik, nyawanya akan melayang. Tapi, dalam suasana genting itu, Abu
Sufyan berteriak minta tolong, “Hai orang-orang Quraisy, tolong aku.”
Namun, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak.
Syadad bin Al-Aswad yang memang sudah disiagakan untuk menghabisi Hanzhalah,
behasil menelikung gerakan hanzhalah dan menebas tengkuknya dari belakang.
Tubuh yang gagah dan tegap itu jatuh berdebum ke tanah, boom!!! Para sahabat
yang berada di sekitar dirinya mencoba untuk memberi pertolongan, namun langkah
mereka terhenti.
Lantas orang-orang Quraisy di sekitarnya tanpa ampun
mengayunkan pedangnya kepada Hanzhalah, dari kiri, kanan, dan belakang,
sehingga Hanzhalah tersungkur. Dalam kondisi yang sudah parah, darah mengalir
begitu deras dari tubuhnya, ia masih dihujani dengan lemparan tombak dari
berbagai penjuru.
Tak lama kecamuk perang surut. Sepi memagut. Mendekap perih
di banyak potongan tubuh yang tercerabut. Ia syahid di medan Uhud. Di sebuah
gundukan tanah yang tampak masih basah, jasadnya terbujur.
Semburat cahaya terang dari langit membungkus jenazah
Hanzhalah dan mengangkatnya ke angkasa setinggi rata-rata air mata memandang.
Juga tejadi hujan lokal dan tubuhnya terbolak-balik seperti ada sesuatu yang
hendak diratakan oleh air ke sekujur tubuh Hanzhalah. Bayang-bayang putih juga
berkelebat mengiringi tetesan air hujan. Hujan mereda, cahaya terang padam
diiringi kepergian bayang-bayang putih ke langit dan tubuh Hanzhalah kembali
terjatuh dengan perlahan.
Subhanallah! Padahal sedari tadi hujan tak pernah turun
mengguyur, setetes-pun. Para sahabat yang menyaksikan tak urung heran. Para
sahabat kemudian membawa jenazah yang basah kuyup itu ke hadapan Rasulullah saw
dan menceritakan tentang peristiwa yang mereka saksikan. Rasulullah meminta
agar seseorang segera memanggil istri Hanzhalah.
Begitu wanita yang dimaksud tiba di hadapan Rasul, beliau
menceritakan begini dan begini tentang Hanzhalah dan bertanya: “Apa yang telah
dilakukan Hanzhalah sebelum kepergiannya ke medan perang?”
Wanita itu tertunduk. Rona pipinya memerah, dengan senyum
tipis ia berkata: “Hanzhalah pergi dalam keadaan junub dan belum
sempat mandi ya Rasulullah!”
Rasulullah kemudian berkata kepada yang hadir. “Ketahuilah
oleh kalian. Bahwasannya jenazah Hanzhalah telah dimandikan oleh para malaikat.
Bayang-bayang putih itu adalah istri-istrinya dari kalangan bidadari yang
datang menjemputnya.”
Dengan malu-malu mereka (para bidadari) berkata; “Wahai
Hanzhalah, wahai suami kami. Lama kami telah menunggu pertemuan ini. Mari kita
keperaduan.”
“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan
suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih?. (yaitu)
kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan
harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya,
niscaya Allah mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal
yang baik di dalam surga ‘Adn. Itulah keberuntungan yang besar.” (QS
61:10-12).
Sumber: dari ‘Yas’alunaka Fiddiini wal Hayaah’ yang
diterjemahkan menjadi “Dialog Islam” karya Dr. Ahmad Asy-Syarbaasyi (dosen
Universitas Al-Azhar, Cairo), Penerbit Zikir, Surabaya, 1997, cetakan pertama
0 Comment to "Suami Dambaan Para Bidadari"
Posting Komentar