Minggu, 17 September 2017

“bagai mana cara djendral gugur”

Poltik sejarah
                “bagai mana cara djendral gugur”

            Diterdjemahkan dari versi asli (bahasa Inggris), ke dalam edjaan Suwandi, edjaan jang paling disukai oleh Oom Ben, penulis analisa ini.
Kedjutan sering muntjul tatkala seseorang mem-bongkar2 gudang jang penuh sesak dan berdebu. Ketika membolak-balik ribuan halaman hasil fotokopi laporan stenografi pengadilan Letnan Kolonel Penerbangan Heru Atmodjo di depan Mahkamah Militer Luar Biasa, saja menemukan beberapa dokumen jang merupakan lampiran berkas2 pengadilan. Ini adalah laporan jang disusun oleh sekelompok ahli forensik medis, beranggotakan lima orang, jang telah memeriksa djenazah enam orang djenderal (Yani, Suprapto, Parman, Sutojo, Harjono dan Pandjaitan) dan seorang letnan muda (Tendean) jang dibunuh pada dinihari 1 oktober 1965. Laporan seadanja ini setjara tepat dan objektif menggambarkan bagaimana tudjuh orang ini tewas, tidak ada laporan lain jang bisa menandinginja. Berkaitan dengan kontroversi lama tentang masalah ini, dan pelbagai laporan kepada chalajak ramai jang ber-beda2 seperti dilakukan oleh ber-matjam2koran dan madjalah, menurut saja akan bermanfaat untuk menerdjemahkan semuanja demi kepentingan ilmiah.
Pada setiap kepala laporan jang tertera visum et repertum (otopsi) menundjukkan bahwa kelompok ini dibentuk pada hari senin 4 oktober, sebagai pelaksanaan perintah tertulis Majdjen Soeharto, komandan KOSTRAD, kepada kepala Rumah Sakit Angkatan Darat. Tim itu terdiri dari dua dokter Angkatan Darat (termasuk jang terkenal Brigdjen Dr. Roebiono Kertopati) dan tiga orang sipil spesialis forensik medis pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Tokoh jang paling senior di kalangan sipil ini, Dr. Sutomo Tjokronegoro, adalah ahli forensik medis terkemuka Indonesia. Kelompok ini bekerdja selama delapan djam, pada tanggal 4 oktober dari djam 16:30 sampai djam 00:30 pada tanggal 5 oktober, di kamar bedah RSPAD.

Djelas mereka harus bekerdja tjepat, karena kita tahu dari pelbagai berita koran bahwa djenazah2 itu diangkat dari sumur di Lubang Buaja (tempat mereka dibuang oleh para pembunuh) pada 4 oktober siang hari, lebih dari 75 djam setelah mereka dibunuh. Pada saat itu, seperti bisa diperhitungkan dalam iklim tropis, djenazah2 itu sudah dalam tahap pembusukan tinggi. Pada siang hari selasa 5 oktober djenazah2 ini dimakamkan dengan upatjara kebesaran militer di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Berdasarkan kenjataan bahwa otopsi itu dilakukan atas perintah langsung majdjen Soeharto, tidaklah mungkin laporan para dokter ini tidak langsung disampaikan kepadanja begitu selesai ditulis.

Masing2 laporan jang mentjapai tudjuh ini mengikuti pola jang sama: 1) pernjataan Majdjen Soeharto jang berisi instruksi kepada lima pakar; 2) identifikasi djenazah; 3) uraian tentang keadaan djenazah, termasuk pakaian atau hal2 lain jang didjumpai pada djenazah; 4) perintjian luka2 jang bisa diamati; 5) kesimpulan mengenai waktu dan penjebab kematian; serta 6) dengan bersumpah kelima pakar menjatakan bahwa pemeriksaan djenazah telah mereka lakukan setjara menjeluruh dan sesuai dengan ketentuan jang ada.
***
Sumber terbuka tentang tudjuh orang jang tewas ini, kita sekarang, seperti para pembatja Indonesia pada tahun 1965, hanja bisa bergantung pada laporan dua harian militer: Angkatan Bersendjata danBerita Yudha, serta pusat penerangan ABRI sebagai pemasok berita. Walaupun beberapa koran sipil terus mewartakannja, pers kiri sudah dibungkam sedjak 1 oktober malam, dan siaran radio serta televisi pemerintah sudah sepenuhnja berada di tangan militer bahkan sebelum 1 oktober. Oleh karena itu kita akan bisa beladjar banjak djika membandingkan pemberitaan koran militer dengan isi laporan ahli forensik jang ditugasi oleh militer, dari lampiran jang ada bisa disimpulkan bahwa laporan ini selesai ditulis pada hari selasa tanggal 5 oktober 1965.
Berdasarkan kenjataan bahwa kedua koran adalah harian pagi, dan kemungkinan besar edisi tanggal 5 oktober “sudah ditidurkan” tatkala para dokter melakukan pemeriksaan, tidaklah mengedjutkan kalau pemberitaan mereka pada hari itu mungkin ter-gesa2, tidak menggunakan informasi jang teliti. Harian Angkatan Bersendjata jang mengumumkan foto2 kabur konon merupakan foto djenazah jang membusuk, memberitakan kematian itu sebagai “Perbuatan biadab berupa penganiajaan jang dilakukan diluar batas perikemanusiaan.” HarianBerita Yudha, jang selalu lebih hidup, mentjatat bahwa: “Bekas2 luka disekudjur tubuh akibat siksaan sebelum ditembak masih membalut tubuh2pahlawan kita”. Majdjen Soeharto sendiri dikutip menjatakan bahwa, “Djelaslah bagi kita jang menjaksikan dengan mata kepala betapa kedjamnja aniaja jang telah dilakukan oleh petualang2 biadab dari apa jang dinamakan ‘Gerakan 30 September’”. Berlandjut dengan pemberitaan tentang saat2terachir djenderal A. Yani, harian Berita Yudha mewartakan bahwa setelah ditembak di rumah sendiri, dia dibuang ke dalam truk hidup2, dan mulai saat itu disiksa sampai “penjiksaan terachirnja di Lubang Buaja”. Bukti siksaan ini adalah luka di leher dan wadjah dan “anggota2tubuhnja jang tidak sempurna lagi”. Frasa jang rada kabur ini mendjadi lebih djelas pada berita keesokan harinja. Pada hari kemis tanggal 7 oktober Angkata Bersendjata mengamati bahwa djenderal Yani “matanja ditjongkel”, sebuah penemuan jang, dua hari kemudian, dibenarkan oleh harian Berita Yudha jang menambahkan bahwa wadjah djenazah jang ditemukan itu dibungkus dengan kain hitam.
Pada hari jang sama tanggal 7 oktober itu Angkatan Bersendjata lebih landjut memberitakan bagaimana djenderal2 Harjono dan Pandjaitan tewas akibat hudjan tembakan di rumah2 mereka sendiri, dengan djenazah jang ditumpuk di dalam truk jang kemudian menghilang di malam buta dan “deru mesinnja jang seperti harimau haus darah”. NamunBerita Yudha djuga mentjatat bekas2 siksaan di tangan Harjono.
Pada edisi 9 oktober, Berita Yudha melaporkan bahwa walaupun wadjah dan kepala djenderal Suprapto telah dipukul oleh “pen-teror2biadab”, sosoknja masih bisa dikenali. Tubuh letnan Tendean mengalami luka irisan pisau pada dada kiri dan perutnja, lehernja telah dimutilasi dan kedua matanja ditjungkili. Pada edisi hari berikutnja Berita Yudha mengutip beberapa orang saksi mata penggalian kubur jang mengatakan bahwa beberapa korban telah ditjungkili mata mereka, sementara beberapa korban lain “Ada jang dipotong tanda kelaminnja dan banjak hal2 jang sama sekali mengerikan dan diluar perikemanusiaan”. Pada edisi 11 oktober Angkatan Bersendjatalebih memerintji kematian Tendean dengan menjatakan bahwa dia telah mengalami beberapa kali penjiksaan di Lubang Buaja, tempat dia diserahkan kepada Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia onderbouwPKI). Dia didjadikan “permainan djahat” oleh wanita2 ini.




 Pemberitaan koran2 tentara ini segera diikuti oleh media massa lain. Pada tanggal 20 oktober, misalnja, Api Pantjasila, organ partai IPKI jang dekat dengan tentara mengumumkan bahwa alat pentjungkil jang digunakan untuk mentjongkeli mata para djenderal telah ditemukan oleh organisasi pemuda anti komunis jang menggrebek gedung milik PKI di desa Harupanggang, pinggiran Garut, tanpa mendjelaskan mengapa PKI merasa perlu menjimpan alat itu di sana. Pada tanggal 25 oktober, koran jang sama mengumumkan pengakuan seorang jang bernama Djamin, anggota Pemuda Rakjat, organisasi pemuda PKI, jang menjatakan telah menjaksikan bagaimana djenderal Suprapto disiksa “diluar batas kesusilaan” oleh para anggota Gerwani. Lalu menjusul pengakuan2 serupa dan memuntjak pada kisah luar biasa jang dituturkan oleh Djamilah dan diumumkan pada edisi 6 november oleh semua pers, berdasarkan laporan Pusat Penerangan ABRI. Djamilah jang berusia 15 tahun itu adalah seorang pemimpin Gerwani Patjitan jang sedang hamil tiga bulan, mengungkap bahwa dia bersama teman2nja di Lubang Buaja telah memperoleh pisau silet dari kalangan militer peserta Gerakan 30 september. Mereka jang berdjumlah 100 orang itu mengikuti perintah orang2 jang sama berlandjut dengan “me-nusuk2 pisau pada kemaluan orang2 itu” (Api Pantjasila, 6 november 1965). Dan djelas bukan hanja ini. KarenaAntana jang dikontrol tentara pada edisi 30 november mewartakan bagaimana para anggota Gerwani tanpa pandang bulu telah menjerahkan diri kepada para personil Angkatan Udara jang terlibat Gerakan 30 september. Sedangkan harian Angkatan Bersendjata edisi 13 desember memberitakan bahwa para anggota Gerwani ini telah menari tarian harum bunga setjara telandjang bulat di bawah arahan D.N. Aidit pemimpin PKI sebelum mentjeburkan diri pada tindakan tjabul massal bersama anggota Pemuda Rakjat.
Di antara semua pengakuan jang memenuhi pemberitaan surat kabar sepandjang bulan2 oktober, november dan desember, sementara tengah berlangsung pembunuhan massal terhadap mereka jang dituduh berafiliasi dengan PKI, terdapat dua hal jang sangat menarik. Pertama adalah desakan bahwa tudjuh pria jang dibunuh itu telah mengalami penjiksaan jang mengerikan, jaitu pentjungkilan mata dan pemotongan “tanda kelamin”, sedangkan hal kedua adalah penekanan bahwa kalangan sipil anggota organisasi komunis merupakan pelaku tindakan kedjam ini.
***
Apa makna laporan para ahli forensik jang disusun pada tanggal 5 oktober ini? Pertama, dan paling penting, adalah tidak ada seorang korbanpun jang ditjungkil matanja, dan bahwa semua alat kelamin mereka masih utuh: kita bahkan diberitahu bahwa empat orang telah mendjalani chitan dan tiga orang tidak dichitan.
Lebih dari itu, mungkin bermanfaat untuk membagi para korban ini dalam dua kelompok: mereka jang menurut bukti2 non-forensik ditembak mati di rumah sendiri oleh para pentjulik, jaitu para djenderal Yani, Pandjaitan dan Harjono; serta mereka jang baru dibunuh setelah dibawa ke Lubang Buaja, masing2 djenderal2 Parman, Soeprapto dan Sutojo, demikian pula letnan Tendean.

Kelompok 1. Laporan terlengkap mengenai kematian mereka muntjul lama setelah peristiwa pembunuhan; kematian Yani baru dilaporkan oleh Berita Yudha Minggu pada edisi 5 desember; Pandjaitan oleh harian2Kompas edisi 25 oktober, Berita Yudha Minggu tanggal 21 november dan Berita Yudha edisi 13 desember; sedangkan berita kematian Harjono dimuat oleh Berita Yudhaedisi 28 november. Pada semua laporan itu tertera bahwa para djenderal ini ditembak setjara langsung dan mendadak oleh pasukan pengawal presiden Tjakrabirawa di bawah komando operasional letnan satu Doel Arief. Laporan forensik hanja membenarkan sebagian penggambaran ini. Para ahli mengamati bahwa luka2 pada tubuh Yani hanja 10 tembakan baru dan tiga tembakan lama. Pandjaitan terkena tiga tembakan di kepala dan luka irisan pisau ketjil di tangan. Di pihak lain, tjedera jang dialami Harjono malah menimbulkan pertanjaan, karena tidak disebut adanja luka tembakan. Penjebab kematiannja ternjata luka tusukan pandjang dan dalam di bagian perut, jang bisa terdjadi karena tusukan bajonet, pisau lipat atau pisau tjukur. Luka serupa jang tidak mematikan terlihat pada punggung korban. Satu2nja tjedera lain disebutkan sebagai “di tangan kiri dan pergelangan tangan, luka karena trauma tumpul.” Tidak ada kemungkinan lain untuk menafsirkan semua ini ketjuali menjatakan bahwa tidak mungkin luka2itu muntjul akibat siksaan —tukang siksa djarang memilih tangan sebagai sasaran ulah mereka— dan bisa djuga merupakan akibat djenazah jang dibuang ke dalam sumur sedalam 12 meter di Lubang Buaja.




Kelompok II. Laporan terlengkap mengenai kematian korban2 dalam kelompok ini diumumkan oleh koran2berikut: Parman oleh Berita Yudha edisi 17 oktober, selandjutnja pada tanggal 12 desember kedua harian jaitu Berita Yudhadan Angkatan Bersendjata setjara serempak kembali memuat laporan tentangnja. Berita kematian Soeprapto terbit di harian Berita Yudha Minggu edisi 5 desember serta Berita Yudha Minggu edisi 21 november; sedangkan kematian Tendean diberitakan oleh Berita Yudha Minggu edisi 24 oktober. Empat orang inilah jang memperoleh pemberitaan mengenai penjiksaan seks kedji. Sedangkan laporan forensik mengungkapkan hal2 berikut: 1) S. Parman terkena lima luka tembakan, termasuk dua jang mematikan pada kepala; dan, tambahan lagi, “luka iris dan tulang patah dibagian kepala, rahang dan kaki kiri bawah, masing2 merupakan akibat trauma tumpul”. Tidak mungkin mengetahui apa penjebab memar (trauma) tumpul ini —popor senapan, atau kena tembok dan lantai sumur— tapi djelas bukan luka “siksaan”, tidak djuga muntjul akibat irisan pisau lipat atau pisau tjukur. 2) Soeprapto tewas akibat sebelas tembakan jang mengenai pelbagai bagian tubuhnja. Luka lain terdiri dari enam irisan dan patah tulang karena trauma tumpul di sekitar kepala dan wadjah; satu karena trauma tumpul di betis kanannja; kemudian luka dan patah tulang akibat “sebagai akibat trauma tumpul jang sangat keras disekitar pinggang dan paha kanan atas”; dan tiga irisan jang, berdasarkan ukuran dan dalamnja, kemungkinan disebabkan oleh bajonet. Lagi2 “trauma tumpul” menandakan telah terdjadi benturan dengan objek keras jang besar dan tanpa bentuk djelas (popor bedil atau batu sumur), djadi bukan akibat pisau tjukur atau pisau biasa. 3) Sutojo terkena tiga tembakan peluru (termasuk jang mematikan di kepala), sementara “tangan kanan dan batok kepala hantjur karena trauma tumpul”. Lagi2 di sini terbatja kombinasi aneh tangan kanan, tempurung kepala dan trauma tumpul jang menandakan popor senapan atau tembok sumur. 4) Tendean tewas karena luka tembakan. Selain itu, para pakar forensik menemukan luka goresan di dahi dan tangan kiri, demikian pula “tiga luka mengaga akibat trauma tumpul terhadap kepala”.
Di sekudjur laporan ini tidak pernah sekalipun disebut telah terdjadi penjiksaan, demikian pula tidak ada djedjak pisau tjukur atau pisau lipat. Tidak hanja hampir semua luka bukan akibat tembakan diuraikan setjara terperintji sebagai akibat trauma berat dan tumpul, tetapi sasaran pada tubuh —pergelangan kaki, tulang kering, pergelangan tangan, paha, pelipis dan seterusnja— jang pada umumnja tampak atjak. Hal jang sangat mentjolok adalah bahwa bagian tubuh jang biasanja merupakan sasaran para penjiksa seperti bidji pelir, dubur, mata, kuku djari, telinga dan lidah tidak pernah disinggung. Dengan begitu dapatlah dikatakan dengan kepastian jang masuk akal bahwa enam korban menemui adjal karena tembakan (hanja kematian Harjono di rumahnja sendiri jang merupakan tanda tanja), dan kalaupun tubuh mereka mendjadi sasaran kekerasan lain, maka itu akibat hempasan popor sendjata jang sebelumnja telah melepaskan tembakan jang mematikan terhadap mereka[1], atau kerusakan tubuh itu tampaknja merupakan akibat djatuh ke dalam sumur berdinding batu sedalam 12 meter jang kira2 setara dengan gedung tingkat tiga.
***
Sekarang hanja tinggal mengatakan bahwa dalam pidatonja pada tanggal 12 desember 1965, kepada kantor berita Antara Presiden Sukarno memperingatkan keras para wartawan karena telah melakukan pem-besar2an. Presiden djuga mendesak bahwa para dokter jang telah memeriksa tubuh para korban sudah menegaskan tidak terdjadi mutilasi kedji pada mata dan alat kelamin seperti dilaporkan pers.[2]
[1] Menariknja pada edisi 16 november, harian Angkatan Bersendjata menampilkan pengakuan seorang jang bernama Suparno jang berkata bahwa lima dari enam korban hanja ditembak; dua jang lain —Suprapto dan Tendean— disiksa sedjauh hanja terkena hantaman popor senjata. Bandingkan laporan forensik tentang tubuh dua pria ini.
[2] Lihat Suara Islam, 13 Desember 1965 dan FBIS (nomer 239), 13 Desember 1965.
alih bahasa Joss Wibisono
 sumber: wordpress.com


Share this

0 Comment to "“bagai mana cara djendral gugur”"

Posting Komentar