Kh Ahmad Dahlan
Muhammad Darwisy (Nama Kecil Kyai Haji Ahmad
Dahlan) dilahirkan dari kedua orang tuanya, yaitu KH. Abu Bakar (seorang
ulama dan Khatib terkemuka di Mesjid Besar Kesultanan Yogyakarta) dan Nyai Abu
Bakar (puteri dari H. Ibrahim yang menjabat sebagai penghulu kesultanan juga).
Ia merupakan anak ke-empat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhanya
saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya.
Dalam silsilah ia termasuk keturunan yang kedua belas
dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka
diantara Wali Songo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan
pengembangan Islam di Tanah Jawa (Kutojo dan Safwan, 1991). Adapun silsilahnya
ialah Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan) bin KH. Abu Bakar bin KH. Muhammad
Sulaiman bin Kiyai Murtadla bin Kiyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo
bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig
(Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlul’llah (Prapen) bin Maulana ‘Ainul Yaqin
bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim (Yunus Salam, 1968: 6).
Muhammad Darwisy dididik dalam lingkungan pesantren
sejak kecil yang mengajarinya pengetahuan agama dan bahasa Arab. Ia menunaikan
ibadah haji ketika berusia 15 tahun (1883), lalu dilanjutkan dengan menuntut
ilmu agama dan bahasa arab di Makkah selama lima tahun. Di sinilah ia
berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, seperti
Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha, dan ibn Taimiyah.
Buah pemikiran tokoh-tokoh Islam ini mempunyai
pengaruh yang besar pada Darwisy. Jiwa dan pemikirannya penuh disemangati oleh
aliran pembaharuan ini yang kelak kemudian hari menampilkan corak keagamaan
yang sama, yaitu melalui Muhammadiyah, yang bertujuan untuk memperbaharui
pemahaman keagamaan (ke-Islaman) di sebagian besar dunia Islam saat itu yang
masih bersifat ortodoks (kolot). Ortodoksi ini dipandang menimbulkan kebekuan
ajaran Islam, serta stagnasi dan dekadensi (keterbelakangan) ummat Islam. Oleh
karena itu, pemahaman keagamaan yang statis ini harus dirubah dan diperbaharui,
dengan gerakan purifikasi atau pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada
al-Qur’an dan al-Hadits.
Pada usia 20 tahun (1888), ia kembali ke kampungnya,
dan berganti nama Ahmad Dahlan. Sepulangnya dari Makkah ini, iapun diangkat
menjadi khatib amin di lingkungan Kesultanan Yogyakarta. Pada tahun 1902-1904,
ia menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya yang dilanjutkan dengan
memperdalam ilmu agama kepada beberapa guru di Makkah.
Sepulang dari Makkah, ia menikah dengan Siti Walidah,
sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan
Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari
perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak
yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti
Zaharah (Kutojo dan Safwan, 1991).
Di samping itu, KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi
Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Ia juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai
Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya
dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah.
Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta (Yunus
Salam, 1968: 9).
Sebagai seorang yang sangat hati-hati dalam kehidupan
sehari-harinya, ada sebuah nasehat yang ditulisnya dalam bahasa Arab untuk
dirinya sendiri, yaitu :
“Wahai Dahlan, sungguh di depanmu ada bahaya besar dan
peristiwa-peristiwa yang akan mengejutkan engkau, yang pasti harus engkau
lewati. Mungkin engkau mampu melewatinya dengan selamat, tetapi mungkin juga
engkau akan binasa karenanya. Wahai Dahlan, coba engkau bayangkan seolah-olah
engkau berada seorang diri bersama Allah, sedangkan engkau menghadapi kematian,
pengadilan, hisab, surga, dan neraka. Dan dari sekalian yang engkau hadapi itu,
renungkanlah yang terdekat kepadamu, dan tinggalkanlah lainnya (diterjemahkan
oleh Djarnawi Hadikusumo).
Dari pesan itu tersirat sebuah semangat yang besar
tentang kehidupan akhirat. Dan untuk mencapai kehidupan akhirat yang baik, maka
Dahlan berpikir bahwa setiap orang harus mencari bekal untuk kehidupan akhirat
itu dengan memperbanyak ibadah, amal saleh, menyiarkan dan membela agama Allah,
serta memimpin ummat ke jalan yang benar dan membimbing mereka pada amal dan
perjuangan menegakkan kalimah Allah. Dengan demikian, untuk mencari bekal
mencapai kehidupan akhirat yang baik harus mempunyai kesadaran kolektif,
artinya bahwa upaya-upaya tersebut harus diserukan (dakwah) kepada seluruh
ummat manusia melalui upaya-upaya yang sistematis dan kolektif.
Kesadaran seperti itulah yang menyebabkan Dahlan
sangat merasakan kemunduran ummat islam di tanah air. Hal ini merisaukan
hatinya. Ia merasa bertanggung jawab untuk membangunkan, menggerakkan dan
memajukan mereka. Dahlan sadar bahwa kewajiban itu tidak mungkin dilaksanakan
seorang diri, tetapi harus dilaksanakan oleh beberapa orang yang diatur secara
seksama. Kerjasama antara beberapa orang itu tidak mungkin tanpa organisasi.
Untuk membangun upaya dakwah (seruan kepada ummat
manusia) tersebut, maka Dahlan gigih membina angkatan muda untuk turut
bersama-sama melaksanakan upaya dakwah tersebut, dan juga untuk meneruskan dan
melangsungkan cita-citanya membangun dan memajukan bangsa ini dengan
membangkitkan kesadaran akan ketertindasan dan ketertinggalan ummat Islam di
Indonesia. Strategi yang dipilihnya untuk mempercepat dan memperluas gagasannya
tentang gerakan dakwah Muhammadiyah ialah dengan mendidik para calon
pamongpraja (calon pejabat) yang belajar di OSVIA Magelang dan para calon guru yang
belajar di Kweekschool Jetis Yogyakarta, karena ia sendiri diizinkan oleh
pemerintah kolonial untuk mengajarkan agama Islam di kedua sekolah tersebut.
Dengan mendidik para calon pamongpraja tersebut
diharapkan akan dengan segera memperluas gagasannya tersebut, karena mereka
akan menjadi orang yang mempunyai pengaruh luas di tengah masyarakat. Demikian
juga dengan mendidik para calon guru yang diharapkan akan segera mempercepat
proses transformasi ide tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, karena mereka akan
mempunyai murid yang banyak. Oleh karena itu, Dahlan juga mendirikan sekolah
guru yang kemudian dikenal dengan Madrasah Mu’allimin (Kweekschool
Muhammadiyah) dan Madrasah Mu’allimat (Kweekschool Istri Muhammadiyah). Dahlan
mengajarkan agama Islam dan tidak lupa menyebarkan cita-cita pembaharuannya.
Di samping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang
gerakan dakwah Muhammadiyah, ia juga tidak lupa akan tugasnya sebagai pribadi
yang mempunyai tanggung jawab pada keluarganya. Ia dikenal sebagai salah seorang
keturunan bangsawan yang menduduki jabatan sebagai Khatib Masjid Besar
Yogyakarta yang mempunyai penghasilan yang cukup tinggi. Di samping itu, ia
juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan berdagang
batik yang saat itu merupakan profesi entrepreneurship yang cukup menggejala di
masyarakat.
Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan
bermasyarakat dan mempunyai gagasan-gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan mudah
diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat, sehingga ia juga dengan
cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam’iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat
Islam, dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad saw.
Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan
organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di bumi
nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir
dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Ia ingin mengajak ummat Islam
Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur’an dan al-Hadits.
Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 Nopember 1912. Dan sejak
awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi
bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.
Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini
juga mendapatkan resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat
sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi
kepadanya. Ia dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam.
Ada yang menuduhnya kiai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang
Kristen dan macam-macam tuduhan lain. Bahkan ada pula orang yang hendak
membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar.
Keteguhan hatinya untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaharuan Islam
di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan
permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum.
Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan
Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah
Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari
Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini.
Itulah sebabnya kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di
daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, dan Imogiri dan lain-lain tempat telah
berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan dengan keinginan
pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan
mensiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta
memakai nama lain.
Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang
dengan nama Al-Munir, di Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri
perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari
cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan
adanya jama’ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan
kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan Jama’ah-jama’ah ini mendapat
bimbingan dari Muhammadiyah, yang di antaranya ialah Ikhwanul Muslimin,
Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan
Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta’awanu alal birri, Ta’ruf bima kan,u
wal-Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi (Kutojo dan Safwan,
1991: 33).
Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh
Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, di samping juga
melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan
sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama
dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan
terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di
seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan
permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang
Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah
Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.
Dalam bulan Oktober 1922, Ahmad Dahlan memimpin
delegasi Muhammadiyah dalam kongres Al-Islam di Cirebon. Kongres ini
diselenggarakan oleh Sarikat Islam (SI) guna mencari aksi baru untuk
konsolidasi persatuan ummat Islam. Dalam kongres tersebut, Muhammadiyah dan
Al-Irsyad (perkumpulan golongan Arab yang berhaluan maju di bawah pimpinan
Syeikh Ahmad Syurkati) terlibat perdebatan yang tajam dengan kaum Islam
ortodoks dari Surabaya dan Kudus. Muhammadiyah dipersalahkan menyerang aliran
yang telah mapan (tradisionalis-konservatif) dan dianggap membangun mazhab baru
di luar mazhab empat yang telah ada dan mapan.
Muhammadiyah juga dituduh hendak mengadakan tafsir
Qur’an baru, yang menurut kaum ortodoks-tradisional merupakan perbuatan
terlarang. Menanggapi serangan tersebut, Ahmad Dahlan menjawabnya dengan
perkataan, “Muhammadiyah berusaha bercita-cita mengangkat agama Islam dari
keadaan terbekelakang. Banyak penganut Islam yang menjunjung tinggi tafsir para
ulama dari pada Qur’an dan Hadits. Umat Islam harus kembali kepada Qur’an dan
Hadits. Harus mempelajari langsung dari sumbernya, dan tidak hanya melalui
kitab-kitab tafsir”.
Sebagai seorang yang demokratis dalam melaksanakan
aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, Dahlan juga memfasilitasi para anggota
Muhammadiyah untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin dalam
Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah,
telah diselenggarakan duabelas kali pertemuan anggota (sekali dalam setahun),
yang saat itu dipakai istilah Algemeene Vergadering (persidangan umum).
Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan
kesadaran bangsa ini melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah
Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat
Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai
berikut :
1. KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari
nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat.
2. Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan
ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan,
kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan ummat, dengan dasar iman dan Islam.
3. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan
pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan
jiwa ajaran Islam.
4. Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah
mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan.
0 Comment to "Kh Ahmad Dahlan"
Posting Komentar