KISAH
NABI KHIDIR AS
Salah satu kisah Al-Qur'an yang sangat mengagumkan dan
dipenuhi dengan misteri adalah, kisah seseorang hamba yang Allah SWT memberinya
rahmat dari sisi-Nya dan mengajarinya ilmu. Kisah tersebut terdapat dalam surah
al-Kahfi di mana ayat-ayatnya dimulai
dengan cerita Nabi Musa, yaitu:
"Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada
muridnya: 'Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua
buah lautan; atau aku akan berjalan-jalan sampai bertahun-tahun." (QS.
al-Kahfi: 60)
Kalimat yang samar menunjukkan bahwa Musa telah
bertekad untuk meneruskan perjalanan selama waktu yang cukup lama kecuali jika
beliau mampu mencapai majma' al-Bahrain(pertemuan dua buah lautan). Di
sana terdapat suatu perjanjian penting yang dinanti-nanti oleh Musa ketika beliau
sampai di majma' al-Bahrain. Anda dapat merenungkan betapa
tempat itu sangat misterius dan samar. Para musafir telah merasakan keletihan
dalam waktu yang lama untuk mengetahui hakikat tempat ini. Ada yang mengatakan
bahwa tempat itu adalah laut Persia dan Romawi. Ada yang mengatakan lagi bahwa
itu adalah laut Jordania atau Kulzum. Ada yang mengatakan juga bahwa itu berada
di Thanjah. Ada yang berpendapat, itu terletak di Afrika. Ada lagi yang
mengatakan bahwa itu adalah laut Andalus. Tetapi mereka tidak dapat menunjukkan
bukti yang kuat dari tempat-tempat itu.
Seandainya tempat itu harus disebutkan niscaya Allah
SWT akan rnenyebutkannya. Namun Al-Qur'an al-Karim sengaja menyembunyikan
tempat itu, sebagaimana Al-Qur'an tidak menyebutkan kapan itu terjadi. Begitu
juga, Al-Qur'an tidak menyebutkan nama-nama orang-orang yang terdapat dalam
kisah itu karena adanya hikmah yang tinggi yang kita tidak mengetahuinya. Kisah
tersebut berhubungan dengan suatu ilmu yang tidak kita miliki, karena biasanya
ilmu yang kita kuasai berkaitan dengan sebab-sebab tertentu. Dan tidak juga ia
berkaitan dengan ilmu para nabi karena biasanya ilmu para nabi berdasarkan
wahyu. Kita sekarang berhadapan dengan suatu ilmu dari suatu hakikat yang
samar; ilmu yang berkaitan dengan takdir yang sangat tinggi; ilmu yang dipenuhi
dengan rangkaian tabir yang tebal.
Di samping itu, tempat pertemuan dan waktunya antara
hamba yang mulia ini dan Musa juga tidak kita ketahui. Demikianlah kisah itu
terjadi tanpa memberitahumu kapan terjadi dan di tempat mana. Al-Qur'an sengaja
menyembunyikan hal itu, bahkan Al-Qur'an sengaja menyembunyikan pahlawan dari
kisah ini. Allah SWT mengisyaratkan hal tersebut dalam firman-Nya:
"Seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang
telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan
kepadanya ilmu dari sisi Kami." (QS. al-Kahfi: 65)
Al-Qur'an al-Karim tidak menyebutkan siapa nama hamba
yang dimaksud, yaitu seorang hamba yang dicari oleh Musa agar ia dapat belajar
darinya. Nabi Musa adalah seseorang yang diajak bebicara langsung oleh Allah
SWT dan ia salah seorang ulul azmi dari para rasul. Beliau adalah
pemilik mukjizat tongkat dan tangan yang bercahaya dan seorang Nabi yang Taurat
diturunkan kepadanya tanpa melalui perantara. Namun dalam kisah ini, beliau
menjadi seorang pencari ilmu yang sederhana yang harus belajar kepada gurunya
dan menahan penderitaan di tengah-tengah belajarnya itu. Lalu, siapakah gurunya
atau pengajarnya? Pengajarnya adalah seorang hamba yang tidak disebutkan
namanya dalam Al-Qur'an meskipun dalam hadis yang suci disebutkan bahwa ia
adalah Khidir as.
Musa berjalan bersama hamba yang menerima ilmunya dari
Allah SWT tanpa sebab-sebab penerimaan ilmu yang biasa kita ketahui. Mula-mula
Khidir menolak ditemani oleh Musa. Khidir memberitahu Musa bahwa ia tidak akan
mampu bersabar bersamanya. Akhirnya, Khidir mau ditemani oleh Musa tapi dengan
syarat, hendaklah ia tidak bertanya tentang apa yang dilakukan Khidir sehingga
Khidir menceritakan kepadanya. Khidir merupakan simbol ketenangan dan diam; ia
tidak berbicara dan gerak-geriknya menimbulkan kegelisahan dan kebingungan
dalam diri Musa. Sebagian tindakan yang dilakukan oleh Khidir jelas-jelas
dianggap sebagai kejahatan di mata Musa; sebagian tindakan Khidir yang lain
dianggap Musa sebagai hal yang tidak memiliki arti apa pun; dan tindakan yang
lain justru membuat Musa bingung dan membuatnya menentang. Meskipun Musa
memiliki ilmu yang tinggi dan kedudukan yang luar biasa namun beliau mendapati
dirinya dalam keadaan kebingungan melihat perilaku hamba yang mendapatkan
karunia ilmunya dari sisi Allah SWT.
Ilmu Musa yang berlandaskan syariat menjadi bingung
ketika menghadapi ilmu hamba ini yang berlandaskan hakikat. Syariat merupakan
bagian dari hakikat. Terkadang hakikat menjadi hal yang sangat samar sehingga
para nabi pun sulit memahaminya. Awan tebal yang menyelimuti kisah ini dalam
Al-Qur'an telah menurunkan hujan lebat yang darinya mazhab-mazhab sufi di dalam
Islam menjadi segar dan tumbuh. Bahkan terdapat keyakinan yang menyatakan
adanya hamba-hamba Allah SWT yang bukan termasuk nabi dan syuhada namun para
nabi dan para syuhada "cemburu" dengan ilmu mereka. Keyakinan
demikian ini timbul karena pengaruh kisah ini.
Para ulama berbeda pendapat berkenaan dengan Khidir.
Sebagian mereka mengatakan bahwa ia seorang wali dari wali-wali Allah SWT.
Sebagian lagi mengatakan bahwa ia seorang nabi. Terdapat banyak cerita bohong
tentang kehidupan Khidir dan bagaimana keadaannya. Ada yang mengatakan bahwa ia
akan hidup sampai hari kiamat. Yang jelas, kisah Khidir tidak dapat dijabarkan
melalui nas-nas atau hadis-hadis yang dapat dipegang (otentik). Tetapi kami
sendiri berpendapat bahwa beliau meninggal sebagaimana meninggalnya hamba-hamba
Allah SWT yang lain. Sekarang, kita tinggal membahas kewaliannya dan
kenabiannya. Tentu termasuk problem yang sangat rumit atau membingungkan. Kami
akan menyampaikan kisahnya dari awal sebagaimana yang dikemukakan dalam
Al-Qur'an.
Nabi Musa as berbicara di tengah-tengah Bani Israil.
Ia mengajak mereka untuk menyembah Allah SWT dan menceritakan kepada mereka
tentang kebenaran. Pembicaraan Nabi Musa sangat komprehensif dan tepat. Setelah
beliau menyampaikan pembicaraannya, salah seorang Bani Israil bertanya:
"Apakah ada di muka bumi seseorang yang lebih alim darimu wahai Nabi
Allah?" Dengan nada emosi, Musa menjawab: "Tidak ada."
Allah SWT tidak setuju dengan jawaban Musa. Lalu Allah
SWT mengutus Jibril untuk bertanya kepadanya: "Wahai Musa, tidakkah engkau
mengetahui di mana Allah SWT meletakkan ilmu-Nya?" Musa mengetahui bahwa
ia terburu-buru mengambil suatu keputusan. Jibril kembali berkata kepadanya:
"Sesungguhnya Allah SWT mempunyai seorang hamba yang berada di majma'
al-Bahrain yang ia lebih alim daripada kamu." Jiwa Nabi Musa yang
mulia rindu untuk menambah ilmu, lalu timbullah keinginan dalam dirinya untuk
pergi dan menemui hamba yang alim ini. Musa bertanya bagaimana ia dapat menemui
orang alim itu. Kemudian ia mendapatkan perintah untuk pergi dan membawa ikan
di keranjang. Ketika ikan itu hidup dan melompat ke lautan maka di tempat
itulah Musa akan menemui hamba yang alim.
Akhirnya, Musa pergi guna mencari ilmu dan beliau
ditemani oleh seorang pembantunya yang masih muda. Pemuda itu membawa ikan di
keranjang. Kemudian mereka berdua pergi untuk mencari hamba yang alim dan
saleh. Tempat yang mereka cari adalah tempat yang sangat samar dan masalah ini
berkaitan dengan hidupnya ikan di keranjang dan kemudian ikan itu akan melompat
ke laut. Namun Musa berkeinginan
kuat untuk menemukan hamba yang alim ini walaupun beliau harus berjalan sangat
jauh dan menempuh waktu yang lama.
Musa
berkata kepada pembantunya: "Aku tidak memberimu tugas apa pun kecuali
engkau memberitahuku di mana ikan itu akan berpisah denganmu." Pemuda atau
pembantunya berkata: "Sungguh engkau hanya memberi aku tugas yang tidak
terlalu berat." Kedua orang itu sampai di suatu batu di sisi laut. Musa
tidak kuat lagi menahan rasa kantuk sedangkan pembantunya masih bergadang.
Angin bergerak ke tepi lautan sehingga ikan itu bergerak dan hidup lalu melompat
ke laut. Melompatnya ikan itu ke laut sebagai tanda yang diberitahukan Allah
SWT kepada Musa tentang tempat pertamuannya dengan seseorang yang bijaksana
yang mana Musa datang untuk belajar kepadanya. Musa bangkit dari tidurnya dan
tidak mengetahui bahwa ikan yang dibawanya telah melompat ke laut sedangkan
pembantunya lupa untuk menceritakan peristiwa yang terjadi. Lalu Musa bersama
pemuda itu melanjutkan perjalanan dan mereka lupa terhadap ikan yang dibawanya.
Kemudian Musa ingat pada makanannya dan ia telah merasakan keletihan. Ia
berkata kepada pembantunya: "Coba bawalah kepada kami makanan siang kami,
sungguh kami telah merasakan keletihan akibat dari perjalanan ini."
Pembantunya
mulai ingat tentang apa yang terjadi. Ia pun mengingat bagaimana ikan itu melompat
ke lautan. Ia segera menceritakan hal itu kepada Nabi Musa. Ia meminta maaf
kepada Nabi Musa karena lupa menceritakan hal itu. Setan telah melupakannya.
Keanehan apa pun yang menyertai peristiwa itu, yang jelas ikan itu memang
benar-benar berjalan dan bergerak di lautan dengan suatu cara yang mengagumkan.
Nabi Musa merasa gembira melihat ikan itu hidup kembali di lautan dan ia
berkata: "Demikianlah yang kita inginkan." Melompatnya ikan itu ke
lautan adalah sebagai tanda bahwa di tempat itulah mereka akan bertemu dengan
seseorang lelaki yang alim. Nabi Musa dan pembantunya kembali dan menelusuri
tempat yang dilaluinya sampai ke tempat yang di situ ikan yang dibawanya
bergerak dan menuju ke lautan.
Perhatikanlah
permulaan kisah: bagaimana Anda berhadapan dengan suatu kesamaran dan tabir
yang tebal di mana ketika Anda menjumpai suatu tabir di depan Anda terpampang
maka sebelum tabir itu tersingkap Anda harus berhadapan dengan tabir-tabir yang
lain. Akhirnya, Musa sampai di tempat di mana ikan itu melompat. Mereka berdua
sampai di batu di mana keduanya tidur di dekat situ, lalu ikan yang mereka bawa
keluar menuju laut. Di sanalah mereka mendapatkan seorang lelaki. Kami tidak
mengetahui namanya, dan bagaimana bentuknya, dan bagaimana bajunya; kami pun
tidak mengetahui usianya. Yang kita ketahui hanyalah gambaran dalam yang
dijelaskan oleh Al-Qur'an: "Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba
di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahrnat dari sisi
Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. "
Inilah
aspek yang penting dalam kisah itu. Kisah itu terfokus pada sesuatu yang ada di
dalam jiwa, bukan tertuju pada hal-hal yang bersifat fisik atau lahiriah. Allah
SWT berfirman:
"Maka
tatkala mereka berjalan sampai ke pertemuan dua buah laut itu, maka mereka
lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.
Tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: 'Bawalah
ke rnari makanan kita; sesungguhnya kita merasa letih karena perjalanan hita
ini.' Muridnya menjawab: 'Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung
di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan
tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan dan ikan
itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali.' Musa berkata:
'Itulah (tempat) yang kita cari; lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka
semula. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami,
yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami
ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. " (QS. al-Kahfi: 61-65)
Bukhari
mengatakan bahwa Musa dan pembantunya menemukan Khidir di atas sajadah hijau di
tengah-tengah lautan. Ketika Musa melihatnya, ia menyampaikan salam kepadanya.
Khidir berkata: "Apakah di bumimu ada salam? Siapa kamu?" Musa
menjawab: "Aku adalah Musa." Khidir berkata: "Bukankah engkau
Musa dari Bani Israil. Bagimu salam wahai Nabi dari Bani Israil." Musa
berkata: "Dari mana kamu mengenal saya?" Khidir menjawab:
"Sesungguhnya yang mengenalkan kamu kepadaku adalah juga yang memberitahu
aku siapa kamu. Lalu, apa yang engkau inginkan wahai Musa?" Musa berkata
dengan penuh kelembutan dan kesopanan: "Apakah aku dapat mengikutimu agar
engkau dapat mengajariku sesuatu yang engkau telah memperoleh karunia
dari-Nya." Khidir berkata: "Tidakkah cukup di tanganmu Taurat dan
bukankah engkau telah mendapatkan wahyu. Sungguh wahai Musa, jika engkau ingin
mengikutiku engkau tidak akan mampu bersabar bersamaku."
Kita
ingin memperhatikan sejenak perbedaan antara pertanyaan Musa yang penuh dengan
kesopanan dan kelembutan dan jawaban Khidir yang tegas di mana ia memberitahu
Musa bahwa ilmunya tidak harus diketahui oleh Musa, sebagaimana ilmu Musa tidak
diketahui oleh Khidir. Para ahli tafsir mengemukakan bahwa Khidir berkata
kepada Musa: "Ilmuku tidak akan engkau ketahui dan engkau tidak akan mampu
sabar untuk menanggung derita dalam memperoleh ilmu itu. Aspek-aspek lahiriah
yang engkau kuasai tidak dapat menjadi landasan dan ukuran untuk menilai
ilmuku. Barangklali engkau akan melihat dalam tindakan-tindakanku yang tidak
engkau pahami sebab-sebabnya. Oleh karena itu, wahai Musa, engkau tidak akan
mampu bersabar ketika ingin mendapatkan ilmuku." Musa mendapatkan suatu
pernyataan yang tegas dari Khidir namun beliau kembali mengharapnya untuk
mengizinkannya menyertainya untuk belajar darinya. Musa berkata kepadanya bahwa
insya Allah ia akan mendapatinya sebagai orang yang sabar dan tidak akan
menentang sedikit pun.
Perhatikanlah
bagaimana Musa, seorang Nabi yang berdialog dengan Allah SWT, merendah di
hadapan hamba ini dan ia menegaskan bahwa ia tidak akan menentang perintahnya.
Hamba Allah SWT yang namanya tidak disebutkan dalam Al-Qur'an menyatakan bahwa
di sana terdapat syarat yang harus dipenuhi Musa jika ia bersikeras ingin
menyertainya dan belajar darinya. Musa bertanya tentang syarat ini, lalu hamba
yang saleh ini menentukan agar Musa tidak bertanya sesuatu pun sehingga pada
saatnya nanti ia akan mengetahuinya atau hamba yang saleh itu akan
memberitahunya. Musa sepakat atas syarat tersebut dan kemudian mereka pun
pergi. Perhatikanlah firman Allah SWT dalam surah al-Kahfi:
"Musa
berkata kepadanya: 'Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku
ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu ?' Dia
menjawab: 'Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku.
Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai
pengetahuan yang cukup tentang hal itu?' Musa berkata: 'Insya Allah kamu akan
mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam
sesuatu urusan pun.' Dia berkata: 'Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu
menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.'" (QS.
al-Kahfi: 66-70)
Musa
pergi bersama Khidir. Mereka berjalan di tepi laut. Kemudian terdapat perahu
yang berlayar lalu mereka berbicara dengan orang-orang yang ada di sana agar
mau mengangkut mereka. Para pemilik perahu mengenal Khidir. Lalu mereka pun
membawanya beserta Musa, tanpa meminta upah sedikit pun kepadanya. Ini sebagai
bentuk penghormatan kepada Khidir. Namun Musa dibuat terkejut ketika perahu itu
berlabuh dan ditinggalkan oleh para pemiliknya, Khidir melobangi perahu itu. Ia
mencabut papan demi papan dari perahu itu, lalu ia melemparkannya ke laut
sehingga papan-papan itu dibawa ombak ke tempat yang jauh.
Musa
menyertai Khidir dan melihat tindakannya dan kemudian ia berpikir. Musa berkata
kepada dirinya sendiri: "Apa yang aku lakukan di sini, mengapa aku berada
di tempat ini dan menemani laki-laki ini? Mengapa aku tidak tinggal bersama
Bani Israil dan membacakan Kitab Allah SWT sehingga mereka taat kepadaku?
Sungguh Para pemilik perahu ini telah mengangkut kami tanpa meminta upah. Mereka
pun memuliakan kami tetapi guruku justru merusak perahu itu dan
melobanginya." Tindakan Khidir di mata Musa adalah tindakan yang tercela.
Kemudian bangkitlah emosi Musa sebagai bentuk kecemburuannya kepada kebenaran.
Ia terdorong untuk bertanya kepada gurunya dan ia lupa tentang syarat yang
telah diajukannya, agar ia tidak bertanya apa pun yang terjadi. Musa berkata:
"Apakah engkau melobanginya agar para penumpangnya tenggelam? Sungguh
engkau telah melakukan sesuatu yang tercela." Mendengar pertanyaan lugas
Musa, hamba Allah SWT itu menoleh kepadanya dan menunjukkan bahwa usaha Musa
untuk belajar darinya menjadi sia-sia karena Musa tidak mampu lagi bersabar.
Musa meminta maaf kepada Khidir karena ia lupa dan mengharap kepadanya agar
tidak menghukumnya.
Kemudian
mereka berdua berjalan melewati suatu kebun yang dijadikan tempat bermain oleh
anak-anak kecil. Ketika anak-anak kecil itu sudah letih bermain, salah seorang
mereka tampak bersandar di suatu pohon dan rasa kantuk telah menguasainya.
Tiba-tiba, Musa dibuat terkejut ketika melihat hamba Allah SWT ini membunuh
anak kacil itu. Musa dengan lantang bertanya kepadanya tentang kejahatan yang
baru saja dilakukannya, yaitu membunuh anak laki-laki yang tidak berdosa. Hamba
Allah SWT itu kembali mengingatkan Musa bahwa ia tidak akan mampu bersabar
bersamanya. Musa meminta maaf kepadanya karena lagi-lagi ia lupa. Musa berjanji
tidak akan bertanya lagi. Musa berkata ini adalah kesempatan terakhirku untuk
menemanimu. Mereka pun pergi dan meneruskan perjalanan. Mereka memasuki suatu
desa yang sangat bakhil. Musa tidak mengetahui mengapa mereka berdua pergi ke
desa itu dan mengapa tinggal dan bermalam di sana. Makanan yang mereka bawa
habis, lalu mereka meminta makanan kepada penduduk desa itu, tetapi penduduk
itu tidak mau memberi dan tidak mau menjamu mereka.
Kemudian
datanglah waktu sore. Kedua orang itu ingin beristirahat di sebelah dinding
yang hampir roboh. Musa dibuat terkejut ketika melihat hamba itu berusaha
membangun dinding yang nyaris roboh itu. Bahkan ia menghabiskan waktu malam
untuk memperbaiki dinding itu dan membangunnya seperti baru. Musa sangat heran
melihat tindakan gurunya. Bagi Musa, desa yang bakhil itu seharusnya tidak
layak untuk mendapatkan pekerjaan yang gratis ini. Musa berkata: "Seandainya
engkau mau, engkau bisa mendapat upah atas pembangunan tembok itu."
Mendengar perkataan Musa itu, hamba Allah SWT itu berkata kepadanya: "Ini
adalah batas perpisahan antara dirimu dan diriku." Hamba Allah SWT itu
mengingatkan Musa tentang pertanyaan yang seharusnya tidak dilontarkan dan ia
mengingatkannya bahwa pertanyaan yang ketiga adalah akhir dari pertemuan.
Kemudian
hamba Allah SWT itu menceritakan kepada Musa dan membongkar kesamaran dan
kebingungan yang dihadapi Musa. Setiap tindakan hamba yang saleh itu—yang
membuat Musa bingung—bukanlah hasil dari rekayasanya atau dari inisiatifnya
sendiri, ia hanya sekadar menjadi jembatan yang digerakkan oleh kehendak Yang
Maha Tingi di mana kehendak yang tinggi ini menyiratkan suatu hikmah yang
tersembunyi. Tindakan-tindakan yang secara lahiriah tampak keras namun pada
hakikatnya justru menyembunyikan rahmat dan kasih sayang. Demikianlah bahwa
aspek lahiriah bertentangan dengan aspek batiniah. Hal inilah yang tidak
diketahui oleh Musa. Meskipun Musa memiliki ilmu yang sangat luas tetapi
ilmunya tidak sebanding dengan hamba ini. Ilmu Musa laksana setetes air
dibandingkan dengan ilmu hamba itu, sedangkan hamba Allah SWT itu hanya
memperoleh ilmu dari Allah SWT sedikit, sebesar air yang terdapat pada paruh
burung yang mengambil dari lautan. Allah SWT berfirman:
"Maka
berjalanlah heduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidir
melobanginya. Musa berkata: 'Mengapa kamu melobangi perahu itu yang akibatnya
hamu menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu
kesalahan yang besar.' Dia (Khidir) berkata: 'Bukankah aku telah berkata:
'Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku.' Musa
berkata: 'Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu
membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku.' Maka berjalanlah
keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidir
membunuhnya. Musa berkata: 'Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih itu, bukan
karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang
mungkar.' Khidir berkata: 'Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa
sesungguhnya kamu tidak akan sabar bersamaku?' Musa berkata: 'Jika aku bertanya
kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah engkau memperbolehkan
aku menyertairnu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur kepadaku.' Maka
keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri,
mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu
tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu
dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidir menegakkan dinding itu. Musa
berkata: 'Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.' Khidir
berkata: 'Inilah perpisahan antara aku dengan kamu. Aku akan memberitahukan
kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.
Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut,
dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang
raja yang merampas tiap-tiap bahtera. Dan adapun anak itu maka kedua orang
tuanya adalah orang-orang mukmin dan kami khawatir bahwa dia ahan mendorong
orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki supaya
Tuhan mereha mengganti bagi mereka dengan anak yang lebih baik kesuciannya dari
anaknya itu dan lebih dalam dari hasih sayangnya (kepada ibu dan bapaknya).
Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan anak yatim di kota itu, dan di
bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya seseorang
yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki supaya mereka sampai kepada kedewasaannya
dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku
melakuhannya itu menurut kemauanku sendvri. Demikian itu adalah tujuan
perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.'" (QS.
al-Kahfi: 71-82)
Hamba
saleh itu menyingkapkan dua hal pada Musa: ia memberitahunya bahwa ilmunya,
yakni ilmu Musa sangat terbatas, kemudian ia memberitahunya bahwa banyak dari
musibah yang terjadi di bumi justru di balik itu terdapat rahmat yang besar.
Pemilik perahu itu akan menganggap bahwa usaha melobangi perahu mereka
merupakan suatu bencana bagi mereka tetapi sebenarnya di balik itu terdapat
kenikmatan, yaitu kenikmatan yang tidak dapat diketahui kecuali setelah
terjadinya peperangan di mana raja akan memerintahkan untuk merampas
perahu-perahu yang ada. Lalu raja itu akan membiarkan perahu-perahu yang rusak.
Dengan demikian, sumber rezeki keluarga-keluarga mereka akan tetap terjaga dan
mereka tidak akan mati kelaparan. Demikian juga orang tua anak kecil yang
terbunuh itu akan menganggap bahwa terbunuhnya anak kecil itu sebagai musibah,
namun kematiannya justru membawa rahmat yang besar bagi mereka karena Allah SWT
akan memberi mereka—sebagai ganti darinya—anak yang baik yang dapat menjaga
mereka dan melindungi mereka pada saat mereka menginjak masa tua dan mereka
tidak akan menampakkan kelaliman dan kekufuran seperti anak yang terbunuh.
Demikianlah bahwa nikmat terkadang membawa sesuatu bencana dan sebaliknya,
suatu bencana terkadang membawa nikmat. Banyak hal yang lahirnya baik temyata
justru di balik itu terdapat keburukan.
Mula-mula
Nabi Allah SWT Musa menentang dan mempersoalkan tindakan hamba Allah SWT
tersebut, kemudian ia menjadi mengerti ketika hamba Allah SWT itu menyingkapkan
kepadanya maksud dari tindakannya dan rahmat Allah SWT yang besar yang
tersembunyi dari peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Selanjutnya,
Musa kembali menemui pembatunya dan menemaninya untuk kembali ke Bani Israil.
Sekarang, Musa mendapatkan keyakinan yang luar biasa. Musa telah belajar dari mereka
dua hal: yaitu ia tidak merasa bangga dengan ilmunya dalam syariat karena di
sana terdapat ilmu hakikat, dan ia tidak mempersoalkan musibah-musibah yang
dialami oleh manusia karena di balik itu terdapat rahmat Allah SWT yang
tersembunyi yang berupa kelembutan-Nya dan kasih sayang-Nya. Itulah pelajaran
yang diperoleh Nabi Musa as dari hamba ini. Nabi Musa mengetahui bahwa ia
berhadapan dengan lautan ilmu yang baru di mana ia bukanlah lautan syariat yang
diminum oleh para nabi. Kita berhadapan dengan lautan hakikat, di hadapan ilmu
takdir yang tertinggi; ilmu yang tidak dapat kita jangkau dengan akal kita
sebagai manusia biasa atau dapat kita cerna dengan logika biasa. Ini bukanlah
ilmu eksperimental yang kita ketahui atau yang biasa terjadi di atas bumi, dan
ia pun bukan ilmu para nabi yang Allah SWT wahyukan kepada mereka.
Kita
sekarang sedang membahas ilmu yang baru. Lalu siapakah pemilik ilmu ini? Apakah
ia seorang wali atau seorang nabi? Mayoritas kaum sufi berpendapat bahwa hamba
Allah SWT ini dari wali-wali Allah SWT. Allah SWT telah memberinya sebagian
ilmu laduni kepadanya tanpa sebab-sebab tertentu. Sebagian ulama
berpendapat bahwa hamba saleh ini adalah seorang nabi. Untuk mendukung
pernyataannya ulama-ulama tersebut menyampaikan beberapa argumentasi melalui
ayat Al-Qur'an yang menunjukkan kenabiannya.
Pertama, firman-Nya:
"Lalu
mereka bertemu dengan searang hamba di antara hamba-ham-ba Kami, yang telah
Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan
kepadanya ilmu dari sisi Kami."
Kedua, perkataan
Musa kepadanya:
"Musa
berkata kepadanya: 'Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku
ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?' Dia
menjawab: 'Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku.
Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai
pengetahuan yang cukup tentang hal itu ?' Musa berkata: 'lnsya Allah kamu akan
mendapati aku sebagai orangyang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam
sesuatu urusan pun.' Dia berkata: 'Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu
rmnanyakan kepadaku tentang sesuatu pun, sampai aku sendiri menerangkannya
kepadamu,'" (QS. al-Kahfi: 66-70)
Seandainya
ia seorang wali dan bukan seorang nabi maka Musa tidak akan berdiaog atau
berbicara dengannya dengan cara yang demikian dan ia tidak akan menjawab kepada
Musa dengan jawaban yang demikian. Bila ia bukan seorang nabi maka berarti ia
tidak maksum sehingga Musa tidak harus memperoleh ilmu dari seseorang wali yang
tidak maksum.
Ketiga, Khidir
menunjukkan keberaniannya untuk membunuh anak kecil itu melalui wahyu dari
Allah SWT dan perintah dari-Nya. Ini adalah dalil tersendiri yang menunjukkan
kenabiannya dan bukti kuat yang menunjukkan kemaksumannya. Sebab, seorang wali
tidak boleh membunuh jiwa yang tidak berdosa dengan hanya berdasarkan kepada
keyakinannya dan hatinya. Boleh jadi apa yang terlintas dalam hatinya tidak
selalu maksum karena terkadang ia membuat kesalahan. Jadi, keberanian Khidir
untuk membunuh anak kacil itu sebagai bukti kenabiannya.
Keempat, perkataan
Khidir kepada Musa:
"Sebagai
rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku
sendiri. " (QS. al-Kahfi: 82)
Yakni,
apa yang aku lakukan bukan dari doronganku sendiri namun ia merupakan perintah
dari Allah SWT dan wahyu dari-Nya. Demikianlah pendapat para ulama dan para
ahli zuhud. Para ulama berpendapat bahwa Khidir adalah seorang Nabi sedangkan
para ahli zuhud dan para tokoh sufi berpendapat bahwa Khidir adalah seorang
wali dari wali-wali Allah SWT.
Salah
satu pernyataan Kliidir yang sering dikemukakan oleh tokoh sufi adalah
perkataan Wahab bin Munabeh, Khidir berkata: "Wahai Musa, manusia akan
disiksa di dunia sesuai dengan kadar kecintaan mereka atau kecenderungan mereka
terhadapnya (dunia)." Sedangkan Bisyir bin Harits al-Hafi berkata:
"Musa berkata kepada Khidir: "Berilah aku nasihat." Khidir
menjawab: "Mudah-mudahan Allah SWT memudahkan kamu untuk taat
kepada-Nya." Para ulama dan para ahli zuhud berselisih pendapat tentang
Khidir dan setiap mereka mengklaim kebenaran pendapatnya. Perbedaan pendapat
ini berujung pangkal kepada anggapan para ulama bahwa mereka adalah sebagai
pewaris para nabi, sedangkan kaum sufi menganggap diri mereka sebagai ahli
hakikat yang mana salah satu tokoh terkemuka dari ahli hakikat itu adalah
Khidir. Kami sendiri cenderung untuk menganggap Khidir sebagai seorang nabi
karena beliau menerima ilmu laduni.Yang jelas, kita tidak mendapati nas
yang jelas dalam konteks Al-Qur'an yang menunjukkan kenabiannya dan kita juga
tidak menemukan nas yang gamblang yang dapat kita jadikan sandaran untuk
menganggapnya sebagai seorang wali yang diberi oleh Allah SWT sebagian ilmu laduni.
Barangkali
kesamaran seputar pribadi yang mulia ini memang disengaja agar orang yang
mengikuti kisah tersebut mendapatkan tujuan utama dari inti cerita. Hendaklah
kita berada di batas yang benar dan tidak terlalu jauh mempersoalkan
kenabiannya atau kewaliannya. Yang jelas, ketika kami memasukkannya dalam
jajaran para nabi karena ia adalah seorang guru dari Musa dan seorang ustadz
baginya untuk beberapa waktu.♦
0 Comment to "KISAH NABI KHIDIR AS"
Posting Komentar