HIDAYAH ITU DICARI,
BUKAN DITUNGGU
#AkidahTauhid
HIDAYAH ITU DICARI, BUKAN DITUNGGU
Kita layak terpukau dengan kisah-kisah orang-orang yang mendapatkan
hidayah, lalu hidayah itu merubah drastis jalan hidupnya. Tapi kita juga pantas
bertanya, mengapa tingkat kebaikan kita tidak setinggi mereka tersebut? Kita
sudah lama memeluk agama Islam, tapi mengapa Islam kita masih biasa-biasa saja?
Baik dalam hal ilmu, amal, maupun peran yang dapat kita lakukan untuk kemajuan
Islam.
Kemampuan seseorang untuk melahirkan amal, bergantung seberapa besar
kadar hidayah yang bersemayam di hatinya. Baik Hidayah Irsyad atau petunjuk
yang berupa pengetahuan terhadap kebenaran, juga Hidayah Taufik yang menjadikan
kebutuhan manusia untuk mendapatkan hidayah. Karenanya, manusia
memerlukan hidayah untuk memeroleh setiap maslahat, baik Duniawi maupun Ukhrowi.
Inilah jawabannya, meskipun kita telah mendapatkan hidayah Islam, mengapa
masih tetap diperintahkan memohon hidayah kepada Allah, paling minim, 17 kali
dalam sehari semalam kita membaca di dalam sholat,
“Tunjukkilah kami jalan yang lurus,” (QS. Al-Fatihah 6)
Selain hidayah Islam, kita juga membutuhkan hidayah yang bersifat tafshili.
Untuk menjalani Islam dengan benar, kita perlu hidayah ilmu. Kita perlu
petunjuk, apa yang harus kita imani, bagaimana cara kita beribadah kepada
Allah, apa saja rincian kebaikan, sehingga kita bisa menjalankan, mana jenis
kemaksiatan yang harus kita hindari. Ini semua butuh hidayah irsyad, memerlukan
petunjuk ilmu.
Setelah mengetahui ilmunya, kita juga membutuhkan hidayah taufik, agar kita
mampu menerapkan ilmu ke dalam amal, juga untuk istiqomah. Karena tidak sedikit
orang yang telah mengetahui berbagai jenis amal saleh, namun tidak diberi
kekuatan untuk menjalaninya. Meskipun ia orang yang kuat dan berotot, tanpa
hidayah, ia tak mampu berbuat apa-apa. Ada pula yang sudah mengerti sederetan
kemaksiatan dan segudang perkara yang haram, namun ia tak kuasa untuk
melepaskan diri dari belengu syahwatnya. Kita membutuhkan hidayah untuk
mengenali kebenaran, butuh pula hidayah untuk mampu berpegang di atasnya.
Mungkin tersisa dibenak kita, mengapa kita masih saja “Biasa”. Tidak tampak
efek luar biasa, padahal kita juga berdoa kepada Allah, paling tidak 17 kali
dalam sehari semalam. Allah tidak mungkin bakhil, tidak pula menyalahi
janji-Nya atas hamba-Nya. Efek yang belum terasa, atau tidak begitu kuat
pengaruhnya, boleh jadi karena kurangnya penghayatan kita terhadap doa yang
kita panjatkan. Kita memohon kepadanya, namun tidak tau apa yang kita minta,
atau tidak menyadari, permohonan apa yang kita panjatkan kepada-Nya. Allah
tidak mengabulkan doa yang berangkat dari hati yang lalai.
“Ketahuilah, sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala tidak mengabulkan doa
dari hati yang lalai” (HR Tirmizi, Al-Albani menyatakan, “hadis Hasan”).
Atau bisa jadi pula, karena ikhtiar kita untuk mendapatkan hidayah belum
optimal. Selain doa yang menuntut hadirnya hati, juga terhindarnya kita dari
faktor-faktor penghalang terkabulnya doa, mestinya kita iringi doa dengan
ikhtiar. Hidayah irsyad kita cari dengan banyak belajar, menelaah Alquran
dan As-Sunnah, mengaji kitab-kitab yang ditulis para ulama, maupun menghadiri
majelis-majelis ilmu. Adapun hidayah taufik hendaknya kita cari dengan bergaul
bersama orang-orang saleh dan bermujahadah untuk menjalankan amal-amal penyubur
iman.
Salah jika berpikir, bahwa mendapat hidayah berarti Allah subhanahu wa
ta’ala menurunkan malaikat yang akan menurunkan seseorang sesat, lalu masuk
Islam, bertaubat, menuntunnya melakukan amal kebaikan setiap saat sepanjang
hidupnya, tanpa ada usaha dari orang tersebut.
Hidayah adalah petunjuk yang secara halus menunjukkan dan mengantarkan
kepada sesuatu yang dicari. Dan yang paling dicari manusia semestinya adalah
keselamatan di dunia dan Akhirat. Untuk mendapatkannya, Allah subhanahu wa
ta’ala telah memberi bekal bagi setiap manusia dengan berbagai arahan, yang
akan membawa menuju keselamatan. Namun Allah subhanahu wa ta’ala juga
memberinya pilihan, sehingga ada yang mengikuti petunjuk lalu selamat, dan ada
yang tidak mengacuhkannya, lalu celaka.
Imam Ibnul Qayyim dan Imam al Fairusz Abadi menjelaskan, Allah telah
memberikan petunjuk secara halus kepada setiap manusia agar selamat hingga Hari
Kiamat, bahkan sejak hari kelahirannya. Beliau menyebutkan:
Tahapan pertama adalah memberikan Al Hidayah Al Amah, yaitu hidayah yang
bersifat umum yang diberikan kepada setiap manusia, bahkan setiap mahluknya.
Yaitu petunjuk berupa instink, akal, kecerdasan dan pengetahuan dasar, agar
makhluknya bisa mencari dan mendapatkan berbagai hal, yang memberinya maslahat.
Hidayah inilah yang dimaksud dalam ayat,
“Musa berkata; ‘Rabb kami ialah (Rabb) yang telah memberikan kepada
tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk” (QS.Thaha:
50)
Dengan bekal ini, manusia bisa menyerap, memahami dan melaksanakan berbagai
arahan dan bimbingan yang diberikan kepadanya.
Tahapan kedua adalah Hidayatul Dilalah Wal Bayan atau Hidayatul Irsayad,
yaitu petunjuk berupa arahan dan penjelasan yang akan mengantarkan manusia
kepada keselamatan dunia dan Akhirat. Semua itu terangkum dalam risalah yang
disampaikan melalui Nabi dan Rasul-Nya. Allah berfirman:
“Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi
petunjuk dengan perintah kami.” (QS.21:73)
Risalah yang dibawa oleh Muhammad ﷺ adalah Hidayatul Bayan paripurna yang
telah Allah berikan kepada manusia. Sifatnya hanya memberi penjelasan dan
arahan, agar manusia bisa meraih keselamatan. Mengikuti atau tidak, Allah
memberikan pilihan kepada setiap manusia berupa ikhtiar. Sehingga ada di antara
mereka yang mengetahui, kemudian mengikuti dan terus melazimi hingga menjadi
mukmin yang taat. Namun ada pula yang enggan bahkan menentang. Yang mengetahui,
lalu mengikuti dan berusaha tetap berada di atas kebenaran, akan selamat.
Sebaliknya, yang mengetahui lalu berpaling, akan binasa.
Kemudia, fase ketiga adalah Hidayatut Taufiq, yaitu petunjuk yang khusus
diberikan kepada orang–orang yang dikehendaki Allah. Hidayah yang menuntun hati
seseorang untuk beriman dan beramal sesuai dengan tuntunan-Nya. Cahaya yang
menerangi hati dari gelapnya kesesatan dan membimbingnya menuju jalan kebaikan.
Hidayah yang mutlak hanya dimiliki dan diberikan oleh Allah inilah yang
melunakkan hati seseorang, hingga ia mau menjawab seruan dakwah. Dan hidayah
ini pulalah yang menuntun mereka agar tetap berada di atas jalan yang lurus.
Hidayah ini adalah buah dari Hidayatul Irsyad. Seseorang tidak mungkin akan
mendapat hidayah ini, jika belum mendapatkan Hidayatul Irsyad sebelumnya. Namun
tidak semua orang yang sudah mendapat Hidayatul Irsyad pasti mendapatkan
Hidayatut Taufiq.
Seperti sudah dipaparkan tadi, bahwa tugas dan kewenangan Nabi ﷺ, juga
orang-orang yang menjadi pewaris para Nabi ﷺ hanyalah menjelaskan dan
menyampaikan. Mereka tidak akan mampu membuat atau memaksa seseorang mengikuiti
apa yang mereka dakwahkan, jika orang tersebut lebih memilih jalan kesesatan
dan tidak diberi Hidayatut Taufiq oleh Allah. Allah berfirman:
”Sesungguhnya engkau takkan bisa memberikan hidayah (taufiq) kepada orang
yang engkau cintai. Akan tetapi Allah memberikan hidayah kepada siapa pun yang
Dia kehendaki, dan Dia Maha Mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.
“ (QS. Al-Qashash:56).
Yang terakhir adalah hidayah di Akhirat. Petunjuk di Akhirat yang menuntun
manusia menuju Jannah. Rasulullah ﷺ bersabda: “Demi yang jiwa Muhammad berada
di tangan-Nya, salah seorang dari mereka lebih tahu arah menuju rumah-Nya di
Jannah, daripada arah menuju rumahnya di dunia.“
Keempat fase ini saling terkait secara berurutan. Tanpa adanya hidayah
pertama, seseorang tidak akan bisa mendapatkan hidayah yang kedua berupa
Irsyad, arahan dan bimbingan dari Rasulullah ﷺ. Sebab orang yang akalnya tidak
sempurna (gila maupun idiot) tidak bisa menyerap dan menalar berbagai ilmu dan
bimbingan dari siapapun. Kalaupun bisa, daya serapnya sangat minim, sehingga
mereka justru di bebaskan dari semua taklif dan tanggung jawab.
Sedang hidayah yang ketiga, tidak mungkin bisa diraih sebelum seseorang
mendapatkan hidayah yang pertama dan kedua. Taufiq dari Allah hanya akan turun
kepada orang yang telah mendengar risalah dan kebenaran. Demikian pula hidayah
yang keempat. Dan Allah Maha Mengetahui siapa yang benar-benar mencari dan
berhak mendapatkan hidayah dari-Nya.
Hidayah Al amah kita semua sudah memilikinya. Adapun hidayah di Akhirat,
bukan lain adalah buah dari yang kedua dan ketiga. Sehingga yang harus kita
cari semasa hidup di dunia adalah Hidayatul Irsyad dan Hidayatut Taufiq. Ibnu
Katsier menjelaskan hidayah kita pinta dalam surat Al Fatihah adalah dua
hidayah tersebut.
Hidayatul Irsyad adalah ilmu syari yang sahih, di mana kita bisa mengetahui
kebenaran (Ma’rifatul Haq). Sedang hidayatut Taufiq adalah kelapangan hati untuk
mengamalkan dan selalu berada di atas kebenaran. Dua hal ini tidak akan kita
dapatkan, jika Allah tidak menghendaki kita mendapatkannya. Sehingga yang harus
kita lakukan adalah mencari dan memohon kepada Pemiliknya. Mencari berbagai hal
yang bisa mendatangkan hidayah dan berusaha menghancurkan semua yang
menghalangi kita dari hidayah.
Syaikh Abdurahman bin Abdullah as Sahim, dalam risalahnya menjelaskan, ada
beberapa hal yang bisa mendatangkan hidayah:
·
Pertama: Bertauhid dan menjauhi syirik.
·
Kedua: Menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya.
·
Ketiga: Inabah, bertaubat dan kembali kepada Allah.
·
Keempat: I’tisham, berpegang teguh kepada Kitabullah.
·
Kelima: Berdoa dan berusaha keras mencarinya.
·
Keenam: Memperbanyak zikir.
Selain sebab-sebab yang bisa mendatangkan hidayah, ada juga beberapa hal
yang akan menghalangi masuknya cahaya hidayah ke dalam hati, di antaranya:
·
Pertama: Minimnya pengetahuan dan penghargaan atas
nikmat hidayah
Ada sekian banyak manusia yang tergiur dengan dunia dan menjadikannya
satu-satunya hal yang paling diharapkannya. Sukses di matanyanya adalah capaian
harta dan kedudukan di mata manusia. Kesuksesan yang bersifat Ukhrowi
dinomorduakan, dan berpkir, bahwa hal seperti itu bisa dicari lagi di lain
kesempatan.
Meski sudah mendapatkan lingkungan yang baik, kesempatan belajar agama yang
benar, rezeki yang halal meski sedikit, ia tidak segan meninggalkannya demi
meraih dunianya. Itu karena rendahnya penghargaan atas hidayah Allah berupa
teman yang saleh, dan ilmu dien yang telah diberikan kepadanya. Firman Allah
subhanahu wa ta’ala:
“Mereka hanya mengetahui yang tampak dari kehidupan dunia, sedang tentang
(kehidupan) Akhirat mereka lalai. (QS. Ar Rum 7)
·
Kedua: Hasad dan kesombongan.
·
Ketiga: Jabatan
·
Keempat: Syahwat dan harta, dan
·
Kelima: Kebencian.
Seseorang yang membenci orang lain, si A misalnya, ketika si A mendapatkan
hidayah berupa masuk Islam, taubat dari suatu maksiat, semangat belajar Islam
atau yang lain, kebenciannya akan menghalanginya untuk mengikuti jejak orang
yang dia benci itu. Kesombongan, gengsi dan kejengkelan tumbuh subur di atas
lahan kebenciannya, dan menghalangi cahaya hidayah masuk menerangi hatinya.
Allah berfirman, yang artinya:
”Sesungguhnya seorang hamba jika telah beriman kepada Alquran dan mendapat
petunjuk darinya secara global, mau menerima perintah dan membenarkan berita
dari Alquran, semua itu adalah awal mula dari hidayah-hidayah. Selanjutnya yang
akan ia peroleh secara lebih detail. Karena hidayah itu tak memiliki titik
akhir, seberapa pun seorang hamba mampu mencapainya. Allah berfirman:
”Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat
petunjuk. Dan amal-amal saleh yang kekal itu lebih baik pahalanya di sisi
Rabbmu dan lebih baik kesudahannya. (QS.Maryam:76).”
Wallahua’lam.
Sumber: nasihatsahabat.com Oleh: nofriyaldi
0 Comment to "HIDAYAH ITU DICARI, BUKAN DITUNGGU"
Posting Komentar