Selasa, 07 November 2017

KISAH – Si Cantik dan Si Buruk Rupa

KISAH – Si Cantik dan Si Buruk Rupa
 “Betapa indahnya jika engkau menikah dan membangun sebuah rumah tangga. Dengan keluarga baru, engkau mengakhiri derita keterasingan dalam hidup. Selain mewadahi kebutuhan biologis, pasangan hidup dapat membantumu dalam perjalanan spritual.”
“Wahai utusan Tuhan, saya bukanlah orang kaya, bukan dari keluarga terpandang, tidak lahir dari keturunan bangsawan dan juga bukan laki-laki berwajah tampan. Wanita manakah yang ingin menikah dengan laki-laki seperti saya ini? Adakah wanita yang ingin dengan laki-laki bertubuh pendek, hitam dan jelek?”
“Wahai Juwaibir! Islam memiliki pandangan yang berbeda dalam menilai seseorang. Banyak orang yang memiliki kedudukan tinggi sebelum datangnya Islam, dan dinilai rendah ketika Islam datang. Tidak sedikit juga yang dulunya dipandang rendah oleh masyarakat, kini derajatnya diangkat oleh Islam. Ajaran ini melawan diskriminasi, kebanggaan atas keturunan dan fanatisme suku. Sekarang adalah masa dimana setiap orang, apapun warna kulitnya dan latarbelakang keluarganya, bisa saling menghargai dan hidup egaliter. Dalam umat Islam, tinggi atau rendahnya nilai seseorang diukur dari ketakwaannya dan amal saleh…”
Demikian perbincangan antara Nabi Muhammad saw dan Juwaibir. Siapa dia? Sejarah mencatat laki-laki kelahiran Yaman ini meninggalkan kampung halamannya untuk mencari tahu sosok utusan Tuhan yang dikabarkan membawa ajaran Islam. Meskipun berparas buruk, kulit hitam dan bertubuh pendek, Juwaibir merupakan laki-laki yang cerdas, punya semangat dan berkomitmen mencari kebenaran. Ia merantau ke Madinah untuk menyaksikan Islam lebih dekat dan akhirnya memeluk ajaran Muhammad.
Di Madinah, Juwaibir kehabisan bekal dan tidak memiliki rumah maupun teman. Oleh Nabi, ia diizinkan bersama orang-orang yang tidak mampu lainnya, tinggal di masjid. Ketika Nabi tidak lagi memperbolehkan masjid sebagai tempat tinggal, dicarikanlah tempat lainnya untuk menampung orang-orang miskin. Nabi memilih salah satu teras luar masjid untuk dibangun sejenis bangsal yang layak. Tempat ini kelak dikenal dengan sebutan “Suffa” dan penghuninya disebut sebagai “Ashabus Suffa”. Mereka adalah orang miskin dari berbagai wilayah yang jauh dari Madinah, termasuk Juwaibir.
Suatu hari, Nabi datang menjenguk mereka dan memanggil Juwaibir. Setelah berdialog, Nabi mengajak Juwaibir untuk melepas status bujangnya. Tentu saja, Juwaibir kaget dan menganggap ajakan Nabi tidak terpikirkan olehnya selama ini. Bagi Juwaibir, memiliki rumah dan istri dengan kondisinya saat itu bagaikan mimpi di siang bolong.
Tapi karena Nabi yang berucap, Juwabir menerimanya. Ia berusaha membuka kemungkinan itu sebagaimana setiap orang memiliki peluang untuk menikah. Nabi menghilangkan keraguannya dan membuatnya lebih percaya diri. Ayah Fatimah Azzahra ini menjelaskan bahwa Islam telah membawa perubahan dalam melihat status sosial seseorang.
Setelah mengajak Juwaibir untuk melampaui sifat rendah diri yang kompleks, Nabi mengarahkannya ke rumah Ziad ibn Lubaid untuk melamar putrinya. Untuk diketahui, Ziad merupakan salah satu orang terkaya di Madinah dan tokoh yang paling dihormati di sukunya. Ketika Juwaibir tiba di rumahnya, Ziad masih dikelilingi sejumlah tamu dan kerabatnya. Juwabir masuk dan mengambil posisi tempat duduk. Setelah terdiam sejenak, ia mengangkat kepalanya dan berkata, “Saya membawa pesan dari Rasulullah. Apakah Anda ingin mendengarnya empat mata atau saya sampaikan secara terbuka?”
“Suatu kehormatan bagi saya untuk menerima pesan Rasulullah, sampaikan saja secara terbuka,” kata Ziad.
“Rasulullah mengirim saya ke sini agar saya melamar putri Anda dan menjadi tunangan saya.”
“Apakah Rasulullah sendiri yang memberitahumu tentang hal ini?” tanya Ziad kaget dan malu dengan apa yang didengarnya.
“Ini benar-benar bukan ide saya. Tiap orang di sini tahu, saya tidak pernah berkata bohong.”
“Tidak mungkin! Kami tidak akan memberikan putri kami kepada orang di luar suku kami dan ‘tidak setara’ dengan kami. Pulanglah! Saya sendiri yang akan menemui dan berbicara langsung kepada Rasulullah.”
Juwaibir pergi sambil bergumam, “Demi Allah, apa yang telah diajarkan Alquran dan yang menjadi tujuan Rasulullah benar-benar bertolak belakang dengan apa yang dikatakan Ziad.”
Mereka yang masih ada di dalam rumah Ziad tentu mendengar kata-kata terakhir Juwaibir itu. Termasuk Zalfa, anak perempuan tercinta Ziad, yang dikenal “Putri Madinah” karena kecantikannya. Zalfa mendekati ayahnya dan bertanya, “Ayah, apa yang dikatakan laki-laki itu ketika ia keluar dari rumah? Dan apa maksud dari apa yang dikatakannya itu?”
“Dia datang untuk melamarmu dan mengklaim bahwa itu pesan dari Rasulullah.”
“Bagaimana jika Rasulullah benar-benar mengirimnya ke sini? Bagaimana jika penolakan ayah menjadi bentuk ketidakpatuhan pada Rasulullah?”
“Lalu, bagaimana pendapatmu mengenai hal ini, anakku?”
“Saya pikir ayah sebaiknya membawanya kembali ke sini sebelum ia bertemu Rasulullah. Setelah itu, barulah ayah menemui Rasulullah secara langsung untuk mencari tahu yang sebenarnya.”
Ziad mengikuti ide putrinya. Juwaibir dipanggil dan diajak kembali ke rumahnya. Setelah berhasil mengajak Juwaibir kembali, Ziad bergegas menemui Rasulullah.  “Wahai utusan Allah, Juwaibir datang ke rumahku dan membawa pesan yang katanya dari Anda. Saya hanya ingin menyampaikan bahwa dalam tradisi kami, anak perempuan kami hanya diberikan untuk orang yang sesuku atau yang statusnya setara dengan kami. Dan mereka semua juga termasuk sahabat-sahabatmu,” kata Ziad kepada Rasulullah.

“Wahai Ziad, Juwaibir adalah orang yang mukmin sejati. Status seseorang yang Anda bicarakan itu sekarang telah kita tinggalkan. Untuk tujuan pernikahan, setiap laki-laki yang beriman setara dengan setiap perempuan yang beriman.”
Ziad pulang ke rumahnya dan menyampaikan ke putrinya apa yang disampaikan Rasulullah kepadanya. Zalfa berkata, “Saya mohon jangan menolak tawaran Rasulullah. Apalagi hal ini menyangkut diri saya juga. Saya menerima Juwaibir apapun kondisinya. Jika Rasulullah merestuinya, saya pun demikian.”

Pernikahan Juwaibir dan Zalfa akhirnya terwujud. Ziad memberikan hadiah berupa barang-barang bagus untuk rumah tangga mereka. Ketika Juwaibir ditanya oleh orang-orang yang hadir di pernikahannya, “Apakah Anda telah memiliki rumah, tempat dimana istri Anda bawa nantinya?”

“Belum punya. Sebelumnya, saya tidak pernah berpikir bisa memiliki istri dan rumah pribadi. Rasul-lah yang tanpa saya duga datang, berbicara ke saya lalu meminta saya datang ke rumah Ziad.”
Diam-diam, ayah Zalfa juga menghadiahkan mereka rumah dengan segala isi rumahnya. Bukan hanya itu, rumahnya dihiasi dengan berbagai hiasan sehingga menjadi rumah yang indah.  Malam pertama tiba. Juwaibir belum tahu rumah manakah yang dihadiahkan mertuanya itu. Ia pun diantar ke rumah itu dan langsung diperlihatkan kamar pengantin yang telah dipersiapkan dengan segala hiasannya.

Ketika ia menyaksikan rumah dengan segala isinya, termasuk melihat istrinya yang jelita, Juwaibir membatin: “Betapa miskinnya saya ketika saya memasuki kota ini. Tidak memiliki apapun, baik harta, ketampanan, darah biru maupun keluarga. Sekarang, Allah menganungrahkan nikmat yang luar biasa lewat Islam. Sesungguhnya ajaran inilah yang membawa perubahan bagaimana memandang status seseorang. Suatu perubahan yang melampaui apa yang dibayangkan oleh banyak orang. Betapa besarnya anugerah yang diberikan oleh Allah kepadaku melalui Islam dan kasih sayang-Nya yang tak terhingga.”

Ketika tenggelam dalam suasana spiritual itu, Juwaibir pergi ke salah satu sudut rumahnya. Di sana, ia menghabiskan malamnya dengan membaca Alquran dan salat. Rasa syukur itu terus-menerus menggema dalam hatinya. Hingga pagi tiba, istri Juwaibir tak tersentuh. Ketika kerabat perempuan Zalfa datang berkunjung ke rumahnya, mereka mengetahui Zalfa belum disentuh suaminya. Peristiwa ini pun dirahasiakan mereka agar tidak diketahui ayah Zalfa.

Dua bahkan tiga malam terlewati. Namun yang terjadi tidak berbeda dengan malam pertama. Selama tiga hari, Juwaibir berpuasa dan salat serta bermunajat di tiap malamnya. Kerabat Zalfa semakin khawatir dengan prilaku Juwaibir yang mereka khawatirkan tidak punya kecenderungan kepada lawan jenis. Akhirnya masalah ini disampaikan ke Ziad dan dia melaporkan kepada Rasulullah. 

“Apakah kamu tidak suka pada perempuan?” Nabi bertanya ke Jawaibir.

“Sebagai laki-laki, tentu saya pun suka, wahai Rasulullah.”

“Lalu mengapa kamu tidak mendekati istrimu?”

“Wahai utusan Allah, ketika saya memasuki rumah, saya mendapatkan diri saya di tengah-tengah kenikmatan yang berlimpah. Sedemikian sehingga saya terbawa dalam suasana syukur yang mendalam dan ketundukan akan keagungan-Nya yang luar biasa. Saya pikir, berterimakasih kepada Allah seharusnya saya lakukan terlebih dahulu sebelum melakukan apapun. Malam ini…, saya akan mendekati istri saya.”


 Sumber: islamindonesia

Share this

0 Comment to "KISAH – Si Cantik dan Si Buruk Rupa"

Posting Komentar