KISAH – Si Cantik dan Si Buruk Rupa
“Betapa
indahnya jika engkau menikah dan membangun sebuah rumah tangga. Dengan keluarga
baru, engkau mengakhiri derita keterasingan dalam hidup. Selain mewadahi
kebutuhan biologis, pasangan hidup dapat membantumu dalam perjalanan spritual.”
“Wahai
utusan Tuhan, saya bukanlah orang kaya, bukan dari keluarga terpandang, tidak
lahir dari keturunan bangsawan dan juga bukan laki-laki berwajah tampan. Wanita
manakah yang ingin menikah dengan laki-laki seperti saya ini? Adakah wanita
yang ingin dengan laki-laki bertubuh pendek, hitam dan jelek?”
“Wahai
Juwaibir! Islam memiliki pandangan yang berbeda dalam menilai seseorang. Banyak
orang yang memiliki kedudukan tinggi sebelum datangnya Islam, dan dinilai
rendah ketika Islam datang. Tidak sedikit juga yang dulunya dipandang rendah
oleh masyarakat, kini derajatnya diangkat oleh Islam. Ajaran ini melawan
diskriminasi, kebanggaan atas keturunan dan fanatisme suku. Sekarang adalah
masa dimana setiap orang, apapun warna kulitnya dan latarbelakang keluarganya,
bisa saling menghargai dan hidup egaliter. Dalam umat Islam, tinggi atau
rendahnya nilai seseorang diukur dari ketakwaannya dan amal saleh…”
Demikian
perbincangan antara Nabi Muhammad saw dan Juwaibir. Siapa dia? Sejarah mencatat
laki-laki kelahiran Yaman ini meninggalkan kampung halamannya untuk mencari
tahu sosok utusan Tuhan yang dikabarkan membawa ajaran Islam. Meskipun berparas
buruk, kulit hitam dan bertubuh pendek, Juwaibir merupakan laki-laki yang
cerdas, punya semangat dan berkomitmen mencari kebenaran. Ia merantau ke
Madinah untuk menyaksikan Islam lebih dekat dan akhirnya memeluk ajaran
Muhammad.
Di Madinah, Juwaibir kehabisan bekal
dan tidak memiliki rumah maupun teman. Oleh Nabi, ia diizinkan bersama
orang-orang yang tidak mampu lainnya, tinggal di masjid. Ketika Nabi tidak lagi
memperbolehkan masjid sebagai tempat tinggal, dicarikanlah tempat lainnya untuk
menampung orang-orang miskin. Nabi memilih salah satu teras luar masjid untuk
dibangun sejenis bangsal yang layak. Tempat ini kelak dikenal dengan sebutan “Suffa”
dan penghuninya disebut sebagai “Ashabus Suffa”. Mereka adalah orang miskin
dari berbagai wilayah yang jauh dari Madinah, termasuk Juwaibir.
Suatu
hari, Nabi datang menjenguk mereka dan memanggil Juwaibir. Setelah berdialog,
Nabi mengajak Juwaibir untuk melepas status bujangnya. Tentu saja, Juwaibir
kaget dan menganggap ajakan Nabi tidak terpikirkan olehnya selama ini. Bagi
Juwaibir, memiliki rumah dan istri dengan kondisinya saat itu bagaikan mimpi di
siang bolong.
Tapi
karena Nabi yang berucap, Juwabir menerimanya. Ia berusaha membuka kemungkinan
itu sebagaimana setiap orang memiliki peluang untuk menikah. Nabi menghilangkan
keraguannya dan membuatnya lebih percaya diri. Ayah Fatimah Azzahra ini
menjelaskan bahwa Islam telah membawa perubahan dalam melihat status sosial
seseorang.
Setelah
mengajak Juwaibir untuk melampaui sifat rendah diri yang kompleks, Nabi
mengarahkannya ke rumah Ziad ibn Lubaid untuk melamar putrinya. Untuk
diketahui, Ziad merupakan salah satu orang terkaya di Madinah dan tokoh yang
paling dihormati di sukunya. Ketika Juwaibir tiba di rumahnya, Ziad masih
dikelilingi sejumlah tamu dan kerabatnya. Juwabir masuk dan mengambil posisi
tempat duduk. Setelah terdiam sejenak, ia mengangkat kepalanya dan berkata,
“Saya membawa pesan dari Rasulullah. Apakah Anda ingin mendengarnya empat mata
atau saya sampaikan secara terbuka?”
“Suatu
kehormatan bagi saya untuk menerima pesan Rasulullah, sampaikan saja secara
terbuka,” kata Ziad.
“Rasulullah
mengirim saya ke sini agar saya melamar putri Anda dan menjadi tunangan saya.”
“Apakah
Rasulullah sendiri yang memberitahumu tentang hal ini?” tanya Ziad kaget dan
malu dengan apa yang didengarnya.
“Ini
benar-benar bukan ide saya. Tiap orang di sini tahu, saya tidak pernah berkata
bohong.”
“Tidak
mungkin! Kami tidak akan memberikan putri kami kepada orang di luar suku kami
dan ‘tidak setara’ dengan kami. Pulanglah! Saya sendiri yang akan menemui dan
berbicara langsung kepada Rasulullah.”
Juwaibir
pergi sambil bergumam, “Demi Allah, apa yang telah diajarkan Alquran dan yang
menjadi tujuan Rasulullah benar-benar bertolak belakang dengan apa yang
dikatakan Ziad.”
Mereka
yang masih ada di dalam rumah Ziad tentu mendengar kata-kata terakhir Juwaibir
itu. Termasuk Zalfa, anak perempuan tercinta Ziad, yang dikenal “Putri Madinah”
karena kecantikannya. Zalfa mendekati ayahnya dan bertanya, “Ayah, apa yang
dikatakan laki-laki itu ketika ia keluar dari rumah? Dan apa maksud dari apa
yang dikatakannya itu?”
“Dia
datang untuk melamarmu dan mengklaim bahwa itu pesan dari Rasulullah.”
“Bagaimana
jika Rasulullah benar-benar mengirimnya ke sini? Bagaimana jika penolakan ayah
menjadi bentuk ketidakpatuhan pada Rasulullah?”
“Lalu,
bagaimana pendapatmu mengenai hal ini, anakku?”
“Saya
pikir ayah sebaiknya membawanya kembali ke sini sebelum ia bertemu Rasulullah.
Setelah itu, barulah ayah menemui Rasulullah secara langsung untuk mencari tahu
yang sebenarnya.”
Ziad mengikuti ide putrinya. Juwaibir
dipanggil dan diajak kembali ke rumahnya. Setelah berhasil mengajak Juwaibir
kembali, Ziad bergegas menemui Rasulullah. “Wahai utusan Allah, Juwaibir
datang ke rumahku dan membawa pesan yang katanya dari Anda. Saya hanya ingin
menyampaikan bahwa dalam tradisi kami, anak perempuan kami hanya diberikan
untuk orang yang sesuku atau yang statusnya setara dengan kami. Dan mereka
semua juga termasuk sahabat-sahabatmu,” kata Ziad kepada Rasulullah.
“Wahai Ziad, Juwaibir adalah orang
yang mukmin sejati. Status seseorang yang Anda bicarakan itu sekarang telah
kita tinggalkan. Untuk tujuan pernikahan, setiap laki-laki yang beriman setara
dengan setiap perempuan yang beriman.”
Ziad pulang ke rumahnya dan
menyampaikan ke putrinya apa yang disampaikan Rasulullah kepadanya. Zalfa
berkata, “Saya mohon jangan menolak tawaran Rasulullah. Apalagi hal ini
menyangkut diri saya juga. Saya menerima Juwaibir apapun kondisinya. Jika
Rasulullah merestuinya, saya pun demikian.”
Pernikahan Juwaibir dan Zalfa akhirnya
terwujud. Ziad memberikan hadiah berupa barang-barang bagus untuk rumah tangga
mereka. Ketika Juwaibir ditanya oleh orang-orang yang hadir di pernikahannya,
“Apakah Anda telah memiliki rumah, tempat dimana istri Anda bawa nantinya?”
“Belum punya. Sebelumnya, saya tidak
pernah berpikir bisa memiliki istri dan rumah pribadi. Rasul-lah yang tanpa
saya duga datang, berbicara ke saya lalu meminta saya datang ke rumah Ziad.”
Diam-diam, ayah Zalfa juga
menghadiahkan mereka rumah dengan segala isi rumahnya. Bukan hanya itu,
rumahnya dihiasi dengan berbagai hiasan sehingga menjadi rumah yang
indah. Malam pertama tiba. Juwaibir belum tahu rumah manakah yang
dihadiahkan mertuanya itu. Ia pun diantar ke rumah itu dan langsung
diperlihatkan kamar pengantin yang telah dipersiapkan dengan segala hiasannya.
Ketika ia menyaksikan rumah dengan
segala isinya, termasuk melihat istrinya yang jelita, Juwaibir membatin:
“Betapa miskinnya saya ketika saya memasuki kota ini. Tidak memiliki apapun,
baik harta, ketampanan, darah biru maupun keluarga. Sekarang, Allah
menganungrahkan nikmat yang luar biasa lewat Islam. Sesungguhnya ajaran inilah
yang membawa perubahan bagaimana memandang status seseorang. Suatu perubahan
yang melampaui apa yang dibayangkan oleh banyak orang. Betapa besarnya anugerah
yang diberikan oleh Allah kepadaku melalui Islam dan kasih sayang-Nya yang tak
terhingga.”
Ketika tenggelam dalam suasana
spiritual itu, Juwaibir pergi ke salah satu sudut rumahnya. Di sana, ia
menghabiskan malamnya dengan membaca Alquran dan salat. Rasa syukur itu
terus-menerus menggema dalam hatinya. Hingga pagi tiba, istri Juwaibir tak
tersentuh. Ketika kerabat perempuan Zalfa datang berkunjung ke rumahnya, mereka
mengetahui Zalfa belum disentuh suaminya. Peristiwa ini pun dirahasiakan mereka
agar tidak diketahui ayah Zalfa.
Dua bahkan tiga malam terlewati. Namun
yang terjadi tidak berbeda dengan malam pertama. Selama tiga hari, Juwaibir
berpuasa dan salat serta bermunajat di tiap malamnya. Kerabat Zalfa semakin
khawatir dengan prilaku Juwaibir yang mereka khawatirkan tidak punya
kecenderungan kepada lawan jenis. Akhirnya masalah ini disampaikan ke Ziad dan
dia melaporkan kepada Rasulullah.
“Apakah kamu tidak suka pada
perempuan?” Nabi bertanya ke Jawaibir.
“Sebagai laki-laki, tentu saya pun
suka, wahai Rasulullah.”
“Lalu mengapa kamu tidak mendekati
istrimu?”
“Wahai utusan Allah, ketika saya
memasuki rumah, saya mendapatkan diri saya di tengah-tengah kenikmatan yang
berlimpah. Sedemikian sehingga saya terbawa dalam suasana syukur yang mendalam
dan ketundukan akan keagungan-Nya yang luar biasa. Saya pikir, berterimakasih
kepada Allah seharusnya saya lakukan terlebih dahulu sebelum melakukan apapun.
Malam ini…, saya akan mendekati istri saya.”
Sumber: islamindonesia
0 Comment to "KISAH – Si Cantik dan Si Buruk Rupa"
Posting Komentar