Kamis, 12 April 2018

Betapa indahanya ketika seseorang yang jatuh kedalam taman cinta, taman yang penuh segala keindahan

Betapa indahanya ketika seseorang yang jatuh kedalam taman cinta, taman yang penuh segala keindahan

Jibril alaihissalam pernah berpesan ke pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam, ia menggatakan  “Ya Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam,  kau cintai siapa saja yang kau kehendaki, namun  pasti kau akan berpisah dengan orang itu”  

Namun ada sebuah  cinta yang talapuk dek hujan dan tak lekang dek panas yang  tidak  akan pernah berubah, cinta yang bisah bertambah dan terus bertambah, hingga menjadi kekasih Allah subhanahu watala, yaitu : 
  1. cinta kepada Allah.   2. cinta karena Allah.     3. cinta untuk Allah.

Apa bila cinta hamba  kepada rabbnya dan untuk rabbnya, maka itu akan menemani dia sampai kedalam kuburan nanti, tidak akan berpisah sama cintanya.
Oleh karena itu Allah Subhanahu Wa Ta'ala tidak memaksa kita beriman, gak ada yang memaksa Ikhwan dan Akhwat untuk ke Masjid tidak pernah, tidak ada memaksa  Ikhwat dan Akhwat jadi orang islam, gak ada.

Makah Allah Subhanahu Wa Ta'ala tidak suka dengan hal itu, bahkan Allah mengatakan tidak ada paksaan dalam beragama, dalam memeluk sebuah agama, gak ada,

    Oleh karena itu,  Islam adalah agama yang paling toleransi, dimasa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam, beliau bertetanggaan dengan orang-orang yahudi,  orang-orang musyrikin,  ketika Islam sampai ke negeri-negeri  yang di taklukan  oleh Islam,  dibiarkan orang-orang  dalam memeluk agama mereka.

sampai kepalistina Umar Bin Khattab Radhiyallahu Anhu,  menerima kunci-kunci masjidil aqsa, semogga  Allah subhanahu wa ta'ala  membebas kan masjidil aqsa dari tanggan-tanggan orang yahudi, Amin.  tidak ada satupun gereja yang di ancurkan,  tidak ada satu pun tempat ibadah orang yahudi yang di ancurkan.

    gak ada pemaksaan dalam beragama, kau mau beriman silahkan, bahkan Allah subhanahu wa ta'ala mengatakan   ”yang mau berkhendak beriman silahkan dan yang mau kafir silahkan”   karena memang Allah tidak ingin hubungan dia dengan hambanya dibangun diatas keterpaksaan, gak enak  orang dipaksa, kalau dipaksa berarti dia tidak suka dia benci,  tetapi Allah ingin membangun hubungan dia dengan hambanya dibangun diatas pilar-pilar cinta dan kasih sayang.

Allah maha pengasih, Allah maha pecinta, Allah mencintai hamba-hambanya, bahkan nama-nama Allah diantara ny  “Al-wadud yang artinya yang mencintai hamba-hambanya dan dincintai oleh hamba-hambanya “  

Didalam  Surat Hud,  Ayat ke 90, Allah befirman:
 “ Dan mohonlah ampun kepada Tuhan mu kemudian bertaubatlah Kepada-Nya.SesungguhnyaTuhan ku Maha Penyayang lagi Maha Pengasih.” Allah itu meliputi segala sesuatu ,  Kasih Sayang Ku meliputi segala suatu.

Bahkan taatkala Allah Subhanahu Wa Ta'ala  menyelesaikan penciptaan langit dan buminya,  Allah  menulis sebuah kitab, sebuah tulisan, tulisan itu sampai hari ini ada terletak di Arsy-Nya Allah Subhanahu Wa Ta'ala, tulisan itu berbunyi :

“Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam,  beliau bersabda, “Tatkala Allah menciptakan makhluk-Nya, Dia menulis dalam kitab-Nya, yang kitab itu terletak di sisi-Nya di atas ‘Arsy, “Sesungguhnya rahmat-Ku lebih mengalahkan kemurkaan-Ku.” (HR. Bukhari no. 7404 dan Muslim no. 2751)

Allah Rahiim, Wadud, Allah itu mencintai hamba-hambanya dan di cintai hamba-hambanya.
 Dia yang memulai dan Dia akan mengembalikan.

                               Sumber :  kajian  Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, M.A.

Ana bukan orang yang baik, tentu tak pantaslah menulis segala kebaikan...
Ana bukan orang tanpa cela, yang menganggap diri layak mengajak orang lain berbuat baik...
Menasehati, bukan berarti lebih mulia.
Dinasehati, bukan berarti lebih hina.
Saling menasehati bukankah wujud cinta? Juga wujud keindahan ukhuwah?
Jika menunggu yang sempurna untuk menasehati, maka lalu kapan keindahan kebaikan Islam akan bisa terluaskan.



Minggu, 08 April 2018

Penyakit Berbahaya pada Orang yang Menyanjung dan Bagi Orang yang Disanjung

Penyakit Berbahaya pada Orang yang Menyanjung dan Bagi Orang yang Disanjung

Sanjungan dapat tersusupi oleh enam penyakit; empat diantaranya terdapat pada orang yang menyanjung sedangkan dua diantaranya para orang yang disanjung.
Penyakit yang terdapat pada orang yang menyanjung ialah:

Pertama, ia berlebih-lebihan sehingga sampai pada kebohongan.
Kedua, ia dapat tersusupi oleh riya’, karena dengan menyanjung ia menampakkan kecintaan. Dan bisa jadi ia tidak menyembunyikan kecintaan itu dan tidak meyakini semua yang diucapkannya sehingga dengan demikian ia menjadi orang yang pamrih dan munafiq.
Ketiga, kadang-kadang ia mengatakan hal yang tidak sebenarnya dan hal yang tidak dapat dilihat. Diriwayatkan bahwa seseorang menyanjung orang lain di hadapan Nabi Muhammad Shallallahu‘alaihi
lalu Nabi Muhammad Shallallahu‘alaihi bersabda kepadanya:

“Celaka kamu, kamu telah memenggal leher temanmu; seandainya dia mendengarnya niscaya dia tidak akan beruntung.”

Kemudian Nabi Muhammad Shallallahu‘alaihi wasallam bersabda:
“Jika salah seorang diantara kalian harus menyanjung saudaranya maka hendaklah dia mengatakan, “Aku menghargai si Fulan tetapi aku tidak menyatakan kesucian seseorang di hadapan Allah. Allah-lah yang akan memuliakannya jika memang demikian halnya.” 
(HR. Bukhari dan Muslim).

Penyakit ini terjadi pada sanjungan dengan sifat-sifat yang mutlak yang seharusnya diketahui dengan berbagai dalil, seperti perkataannya, ‘Sesungguhnya dia orang yang bertaqwa, wara’, zuhud, sangat baik dan yang semakna dengan itu. Tetapi jika dia berkata, ‘Aku melihatnya shalat malam, bershadaqah, dan menunaikan ibadah haji’ maka hal ini adalah perkara yang dapat dipastikan. Termasuk dalam kategori ini adalah perkataan, ‘Sesungguhnya dia orang yang adil’, karena hal ini masih belum jelas sehingga tidak seharusnya dipastikan kecuali setelah pengujian batinnya. Umar r.a pernah mendengar seorang lelaki yang menyanjung orang lain, lalu Umar r.a bertanya, “Apakah kamu pernah bepergian bersamanya?” Orang itu menjawab, “Tidak.” Umar r.a bertanya, “Apakah kamu pernah berinteraksi dengannya dalam jual beli dan mu’amalah?” Orang itu menjawab, “Tidak.” Umar r.a bertanya, “Apakah kamu tetangganya siang dan malam?” Orang itu menjawab, “Tidak.” Umar r.a berkata, “Demi Allah yang tiada Ilah kecuali Dia, aku tidak menganggapmu telah mengenalnya.”
Keempat, bisa jadi ia membuat senang orang yang disanjung padahal dia orang yang zhalim atau fasiq; sedangkan hal ini tidak dibolehkan.
Al Hasan berkata, “Siapa yang mendoakan panjang umur kepada orang yang zhalim maka sesungguhnya dia telah menyukai Allah didurhakai di atas bumi-Nya. Padahal orang zhalim yang fasiq itu seharusnya dicela agar dia bersedih, bukan disanjung sampai merasa senang.”
Adapun bagi orang yang disanjung, sanjungan membahayakannya dari dua sisi, yaitu:
Pertama, ia mengakibatkan kesombongan dan ‘ujub.

Kedua, jika disanjung dengan kebaikan maka ia menyenangi sanjungan dan merasa puas kepada dirinya. Siapa yang merasa ‘ujub kepada dirinya pasti berkurang semangatnya, karena orang akan bersemangat beramal jika merasa kurang. Jika lidah-lidah sudah meluncurkan sanjungan pada dirinya maka dia mengira telah mencapai kesempurnaan. Oleh sebab itu, Nabi Muhammad Shallallahu‘alaihi  bersabda: “Kamu telah memenggal leher temanmu, sekiranya mendengarnya niscaya dia tidak akan beruntung.”
Umar r.a berkata, “Sanjungan adalah penyembelihan.” Ini karena orang yang disanjung merasa malas beramal sedangkan sanjungan mengakibatkan kemalasan. Atau karena sanjungan itu mengakibatkan rasa ‘ujub dan sombong dimana kedua hal ini mengakibatkan kehancuran seperti halnya penyembelihan. Oleh sebab itu, Umar merupakannya dengan penyembelihan.
Jika sanjungan terselamat dari penyakit-penyakit ini pada diri orang yang menyanjung dan orang yang disanjung maka sanjungan itu tidak terlarang bahkan bisa jadi dianjurkan. Oleh sebab itu Nabi Muhammad Shallallahu‘alaihi menyanjung para shahabat. Sabdanya:
“Sekiranya iman Abu Bakar ditimbang dengan iman (penduduk) dunia niscaya (iman Abu Bakar) lebih berat.” (HR. Al Baihaqi).

Nabi Muhammad Shallallahu‘alaihi wasallam bersabda tentang Uma r.a:
“Sekiranya sesudahku ada Nabi lagi niscaya Umar bin Khaththab-lah orangnya.” (Diriwayatkan oleh Tirmidzi, dan ia meng-hasan-kannya).
Sanjungan apakah yang lebih dari ini? Tetapi Nabi Muhammad Shallallahu‘alaihi berkata benar dan penuh bashirah. Para shahabat adalah orang-orang yang berderajat tinggi sehingga sanjungan itu tidak membuat mereka sombong, ‘ujub dan futur (loyo),
Nabi Muhammad Shallallahu‘alaihi wasallam bersabda: “Aku adalah pemimpin anak Adam, tanpa bangga.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Al-Hakim).

Yakni aku tidak mengucapkan hal ini karena kebanggaan sebagaimana tujuan orang-orang dalam memuji diri mereka sendiri. Seperti halnya orang yang diterima di sisi raja dengan penerimaan yang agung hanya membanggakan dengan penerimaan itu kepada dirinya dan dengan penerimaan itu pula dia merasa senang, bukan karena kelebihannya atas sebagian rakyatnya.
(Sumber: Kitab Mensucikan Jiwa, Karya: Sa’id Hawwa, Penerjemah: Aunur Rafiq Shaleh Tamihid, Lc., Penerbit: Robbani Press)