Sabtu, 15 Juli 2017

Widji Thukul


Bagi generasi pecinta sastra zaman sekarang, adalah sebuah aib apabila tidak mengetahui Widji Thukul. Widji Thukul yang memiliki nama asli Widji Widodo ini adalah seorang legenda dalam dunia sastra. Terutama, sastra sebagai alat perjuangan bangsa. Karya-karyanya menghentak, memanaskan telinga penguasa saat itu. Puisinya menyadarkan jiwa yang takut karena penindasan yang berlarut, mengajak para proletar untuk bangkit bersama. Suaranya menggema, menembus zaman, tanpa badan.

Dia adalah aktivis yang termasuk dalam peristiwa hilangnya para aktivis dalam peristiwa 27 Juli 1998. Dia hilang bersama belasan pejuang lainnya. Sampai sekarang, kita tidak pernah tahu, apa yang sebenarnya terjadi pada penyair tanpa rasa takut ini. Thukul (begitu sapaan akrabnya) bukanlah seorang kaya raya yang hidup penuh kemewahan. Dia hidup dalam keadaan yang serba sulit. Dia pernah mengamen puisi, berjualan koran, menjadi calo tiket bioskop, dan menjadi tukang pelitur di sebuah usaha mebel. Namun, kemelaratan tidak serta-merta membelenggu hasratnya untuk melakukan perlawanan. Sebaliknya, dia semakin berapi-api untuk menuntut keadilan. Dia beberapa kali memimpin aksi massa untuk menyuarakan suaranya. Dia pernah ikut demonstrasi menentang pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh PT Sariwarna, sebuah perusahaan tekstil asli Solo. Dia juga pernah memimpin aksi petani di Ngawi, yang kemudian berbuntut pada aksi pemukulan terhadap dirinya oleh aparat. Tidak hanya itu, Thukul juga harus mengalami luka parah di mata kanannya, karena dihajar oleh aparat ketika memprotes PT Sritex bersama para karyawannya.

Semua kekerasan yang dialamatkan padanya, tidak lantas membuat Thukul menyerah. Dia terus melakukan perlawanan. Aksi protes, puisi kritik, dan karya-karya berani terus dia keluarkan. Hingga akhirnya, pada 27 Juli 1998, dia hilang dan tidak ditemukan sampai sekarang. Jasadnya boleh hilang. Wujudnya boleh jadi tinggal sepotong foto dengan mata kanan yang terluka. Namun, semangatnya masih terus hidup bersama para sastrawan masa kini. Di zamannya, dia telah melakukan hal-hal besar yang seharusnya dilakukan oleh sastrawan kritis. Puisinya bukan melulu soal cinta yang menentramkan. Bukan pula soal Tuhan dan segala pertanyaan tentangNya. Puisinya adalah lambang perlawanan, keberanian, dan semangat untuk tidak tinggal diam dalam cengkeraman tirani.

Widji Thukul, bernama asli Widji Widodo, lahir di kampung Sorogenen Solo, 26 Agustus 1963 dari keluarga tukang becak. Mulai menulis puisi sejak SD, dan tertarik pada dunia teater ketika duduk di bangku SMP. Bersama kelompok Teater Jagat, ia pernah ngamen puisi keluar masuk kampung dan kota. Sempat pula menyambung hidupnya dengan berjualan koran, jadi calo karcis bioskop, dan menjadi tukang pelitur di sebuah perusahaan mebel. Pendidikan tertinggi Thukul Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) jurusan tari sampai kelas dua lantaran kesulitan uang. Kendati hidup sulit, ia aktif menyelenggarakan kegiatan teater dan melukis dengan anak-anak kampung Kalangan, tempat ia dan anak istrinya tinggal.

Lalu muncullah peristiwa kekacauan 27 Juli 1996. Thukul, Budiman Sujatmiko, dan Pius Lustri Lanang menjadi buronan utama pemerintah. Hal ini cukup mengejutkan dan kurang jelas hingga sekarang, karena Thukul sesungguhnya bukan pada 'kaliber' kedua buronan yang lain. Artinya, Budiman dan Pius sudah jadi aktivis taraf nasional, sementara Thukul hanyalah seniman lokal yang potensi ancamannya pada pemerintah tak begitu besar. Sejak itu, Budiman ditahan, diadili, dan dipenjarakan; Pius diculik orangnya Tim Mawar, Kopassus (Kopassus saat itu dipimpin oleh Prabowo Subianto sebagai komandan) ; sedangkan Tukul hilang – konon juga dihilangkan oleh Tim Mawar Kopassus. Secara resmi, Thukul masuk daftar orang hilang pada tahun 2000.

Pada 1992 ia ikut demonstrasi memprotes pencemaran lingkungan oleh pabrik tekstil PT Sariwarna Asli Solo. Tahun-tahun berikutnya Thukul aktif di Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker). Tahun 1995 mengalami cedera mata kanan karena dibenturkan pada mobil oleh aparat sewaktu ikut dalam aksi protes karyawan PT Sritex. Peristiwa 27 Juli 1998 menghilangkan jejaknya hingga saat ini. Ia salah seorang dari belasan aktivis korban penculikan yang terutama diduga didalangi oleh Jenderal Prabowo Subianto.

April 2000, istri Thukul, Sipon melaporkan suaminya yang hilang ke Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Forum Sastra Surakarta (FSS) yang dimotori penyair Sosiawan Leak dan Wowok Hesti Prabowo mengadakan sebuah forum solidaritas atas hilangnya Thukul berjudul "Thukul, Pulanglah" yang diadakan di Surabaya, Mojokerto, Solo, Semarang, Yogyakarta, dan Jakarta. Prestasi dan penghargaan; 1989, ia diundang membaca puisi di Kedubes Jerman di Jakarta oleh Goethe Institut. 1991, ia tampil ngamen puisi pada Pasar Malam Puisi (Erasmus Huis; Pusat Kebudayaan Belanda, Jakarta). 1991, ia memperoleh Wertheim Encourage Award yang diberikan Wertheim Stichting, Belanda, bersama WS Rendra. 2002, dianugerahi penghargaan "Yap Thiam Hien Award 2002". 2002, sebuah film dokumenter tentang Widji Thukul dibuat oleh Tinuk Yampolsky.

Wiji Thukul berpendapat sajak harus bertolak dari data. Menurut dia, kebanyakan sajak Indonesia tak bertolak dari pengamatan sosial. Sikap seperti itu makin kuat setelah ia memimpin Jaker. Di sana, ia bertemu dengan banyak seniman prodemokrasi lain, seperti Moelyono dan Semsar Siahaan. Ia mengikuti rapat dan diskusi. Ia membaca Paulo Freire dan Ivan Illich tentang pendidikan yang membebaskan. Ia mengikuti strategi Augusto Boal, seniman Brasil yang menggunakan teater sebagai alat menghancurkan budaya bisu– budaya yang membuat rakyat tak berani berbicara apa adanya. Pada ketika yang lain, Thukul bisa menjengkelkan. Pada forum yang bukan diperuntukkan buat politik, ia bertanya soal politik.




Apa yang telah dilakukan oleh Wiji Thukul pada akhirnya telah menginspirasi banyak orang untuk mulai berani mengritik pemimpinnya. Sebab selama puluhan tahun, nyaris tidak ada sebuah ruang untuk melawan. Lewat puisi-puisinya, Wiji Thukul mencoba memerlihatkan bahwa perubahan kea rah yang lebih baik harus selalu diperjuangkan walau terkadang ada sesuatu yang harus dikorbankan. Ya, satu kata kunci yaitu pengorbanan. Sesuatu yang telah diberikan Wiji Thukul demi membebaskan bangsa Indonesia dari pemerintahan yang otoriter. Dengan segala apa yang telah Wiji Thukul berikan, maka pantas apabila kita menyabut bahwa Wiji Thukul adalah seorang pahlawan, atau lebih tepatnya Pahlawan Reformasi.

Sumber : htt*://www.izaybiografi.com/2017/01/biografi-widji-thukul.html

Biografi dan sejarah Tan Malaka

Biografi Tan Malaka. 



Tokoh satu ini sangat terkenal dengan pemikiran pemikirannya yang revolusioner dan berhaluan kiri, Tan Malaka atau Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka yang lahir di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat tanggal 2 Juni 1897, ia wafat di Jawa Timur, 21 Februari 1949. Beliau adalah seorang aktivis pejuang nasionalis Indonesia, seorang pemimpin komunis, dan politisi yang mendirikan Partai Murba. Pejuang yang militan, radikal dan revolusioner ini banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia dikenal sebagai tokoh revolusioner yang legendaris namun pemerintah ketika itu menganggap dirinya sebagai pemberontak dan harus dilenyapkan.

Biografi Tan Malaka
Dia kukuh mengkritik terhadap pemerintah kolonial Hindia-Belanda maupun pemerintahan republik di bawah Soekarno pasca-revolusi kemerdekaan Indonesia. Walaupun berpandangan komunis, ia juga sering terlibat konflik dengan kepemimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Tan Malaka menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam pembuangan di luar Indonesia, dan secara tak henti-hentinya terancam dengan penahanan oleh penguasa Belanda dan sekutu-sekutu mereka. Walaupun secara jelas disingkirkan, Tan Malaka dapat memainkan peran intelektual penting dalam membangun jaringan gerakan komunis internasional untuk gerakan anti penjajahan di Asia Tenggara. Ia dinyatakan sebagai "Pahlawan revolusi nasional" melalui ketetapan parlemen dalam sebuah undang-undang tahun 1963.

Perjuangan Tan Malaka
Tan Malaka juga seorang pendiri partai Murba, berasal dari Sarekat Islam (SI) Jakarta dan Semarang. Ia dibesarkan dalam suasana semangatnya gerakan modernis Islam Kaoem Moeda di Sumatera Barat.

Tokoh ini diduga kuat sebagai orang di belakang peristiwa penculikan Sutan Sjahrir bulan Juni 1946 oleh "sekelompok orang tak dikenal" di Surakarta sebagai akibat perbedaan pandangan perjuangan dalam menghadapi Belanda.

Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-pemuda komunis. Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Sarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang pembentukan kursus-kursus semacam itu sehingga mengambil tindakan tegas bagi pesertanya.

Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan alasan pertama: memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua, memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum miskin. Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah. Dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar.

Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.

Seperti dikatakan Tan Malaka pada pidatonya di depan para buruh “Semua gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati, apabila nanti menglami kegagalan maka pegawai yang akan diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner”.

Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di dunia sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul dan dan mengadakan kritik tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya. Tan Malaka juga harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskwa diikuti oleh kaum komunis dunia. Dengan demikian tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di PKI.

Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia meletakkan tanggung jawab yang sangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannya memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso.

Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu itu. Pemberontakan 1926 hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil di beberapa daerah di Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak penjajah Belanda dapat mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang dibuang ke Boven Digoel, Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjaungan nasional mendapat pukulan yang sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama bertahun-tahun.

Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu itu, berkumpul dengan beberapa temannya di Bangkok. Di ibu kota Thailand itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin,
Juni 1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis "Menuju Republik Indonesia". Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu pertama kali di Kowloon, Hong Kong, April 1925.

Prof. Mohammad Yamin, dalam karya tulisnya "Tan Malaka Bapak Republik Indonesia" memberi komentar:

 Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah…."

Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan, di dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun. Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara akibat peristiwa itu.

Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi Republik Indonesia akibat Perjanjian Linggajati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Sutan Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai MURBA, 7 November 1948 di Yogyakarta.

Pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan bersama Gerilya Pembela Proklamasi di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Tapi akhirnya misteri tersebut terungkap juga dari penuturan Harry A. Poeze, seorang Sejarawan Belanda yang menyebutkan bahwa Tan Malaka ditembak mati pada tanggal 21 Februari 1949 atas perintah Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya[1].

Direktur Penerbitan Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara atau KITLV, Harry A Poeze kembali merilis hasil penelitiannya, bahwa Tan Malaka ditembak pasukan TNI di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri pada 21 Februari 1949. Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Soekarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional.

Harry Poeze telah menemukan lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur berdasarkan serangkaian wawancara yang dilakukan pada periode 1986 sampai dengan 2005 dengan para pelaku sejarah yang berada bersama-sama dengan Tan Malaka tahun 1949. Dengan dukungan dari keluarga dan lembaga pendukung Tan Malaka, sedang dijajaki kerja sama dengan Departemen Sosial Republik Indonesia untuk memindahkan kuburannya ke Taman Makam Pahlawan Kalibata. Tentu untuk ini perlu tes DNA, misalnya. Tetapi, Depsos dan Pemerintah Provinsi Jatim harus segera melakukannya sebelum masyarakat setempat secara sporadis menggali dan mungkin menemukan tulang belulang kambing yang bisa diklaim sebagai kerangka jenazah sang pahlawan nasional.

Tidak kurang dari 500 kilometer jarak ditempuh ribuan orang selama dua bulan dari Madiun ke arah Pacitan, lalu ke Utara, sebelum akhirnya mereka, antara lain Amir Sjarifuddin, ditangkap di wilayah perbatasan yang dikuasai tentara Belanda. Ia juga menemukan arsip menarik tentang Soeharto. Selama ini sudah diketahui bahwa Soeharto datang ke Madiun sebelum meletus pemberontakan. Soemarsono berpesan kepadanya bahwa kota itu aman dan agar pesan itu disampaikan kepada pemerintah. Poeze menemukan sebuah arsip menarik di Arsip Nasional RI bahwa Soeharto pernah menulis kepada ”Paduka Tuan” Kolonel Djokosoejono, komandan tentara kiri, agar beliau datang ke Yogya dan menyelesaikan persoalan ini. Soeharto menulis ”saya menjamin keselamatan Pak Djoko”. Dokumen ini menarik karena ternyata Soeharto mengambil inisiatif sendiri sebagai penengah dalam peristiwa Madiun. Harry Poeze telah menemukan lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur. Lokasi tempat Tan Malaka disergap dan kemudian ditembak adalah Dusun Tunggul, Desa Selopanggung, di kaki Gunung Wilis.

Riwayat Tan Malaka

  1. Saat berumur 16 tahun, 1912, Tan Malaka dikirim ke Belanda.
  2. Tahun 1919 ia kembali ke Indonesia dan bekerja sebagai guru disebuah perkebunan di Deli.     Ketimpangan sosial yang dilihatnya di lingkungan perkebunan, antara kaum buruh dan tuan tanah menimbulkan semangat radikal pada diri Tan Malaka muda.
  3. Tahun 1921, ia pergi ke Semarang dan bertemu dengan Semaun dan mulai terjun ke kancah politik
  4.  Saat kongres PKI 24-25 Desember 1921, Tan Malaka diangkat sebagai pimpinan partai.
  5.  Januari 1922 ia ditangkap dan dibuang ke Kupang.
  6.   Pada Maret 1922 Tan Malaka diusir dari Indonesia dan mengembara ke Berlin, Moskwa dan  Belanda.



Madilog karya Tan Malaka
Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.

Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana.

Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya didasari oleh kondisi Indonesia. Terutama rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang teoritis dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dia cetuskan sejak tahun 1925 lewat Naar de Republiek Indonesia.

Jika membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran (Gerpolek-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan ditemukan benang putih keilmiahan dan ke-Indonesia-an serta benang merah kemandirian, sikap konsisten yang jelas dalam gagasan-gagasan serta perjuangannya.

Sumber : htt*://www.biografiku.com/2009/02/biografi-tan-malaka.html

Senin, 10 Juli 2017

Sang Diplomat Yang Religius Dan Patriotik


Nama Lengkap       : Agus Salim


Lahir              : Sumatera Barat, 8 Oktober 1884

Meninggal          :  Jakarta, 4 November 1954 (70 Tahun)

Zodiac             : Balance

Profesi            : Jurnalis, Diplomat
Makam              : Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta
Warga Negara       : Indonesia
Agama              : Islam






Biografi Agus Salim    
Agus Salim terlahir sebagai anak keempat dari pasangan Soetan Mohamad Salim dan Siti Zaenab pada tanggal 8 Oktober 1884 di Koto Gadang, Agam Sumatera Barat. Ayahnya, seorang Jaksa Kepala di Pengadilan Tinggi Riau. Mashudul Haq yang berarti ``Pembela Kebenaran`` adalah nama yang diberikan oleh orang tuanya saat beliau lahir. Menelusuri jejak dalam biografi Agus Salim, kita mendapati kecerdasannya sangat menonjol dibanding teman-temannya. Terlahir dari keluarga yang berada, membuat Agus Salim dapat mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah Belanda tanpa hambatan. Pada usia 19 tahun, belai lulus dari HBS (Hogere Burger School) atau sekolah menengah atas saat ini dalam waktu 5 tahun dengan menyandang predikat lulusan terbaik di tiga kota yaitu Surabaya, Semarang, dan Jakarta. Pada usia mudanya itu, Agus salim mampu menguasai sedikitnya tujuh bahasa asing; Belanda, Inggris, Arab, Turki, Perancis, Jepang,dan Jerman.

Semangat belajar Agus Salim terus Menyala, dan berbekal sebagai lulusan terbaik dia mengajukan beasiswa kepada pemerintah Belanda untuk dapat melanjutkan sekolah Kedokteran di Belanda. Tanpa sebab yang jelas, ternyata permohonannya ditolak yang membuatnya kecewa. Disisi lain, R.A. Kartini yang hidup sejaman dengan Agus Salim, mendapatkan beasiswa dari pemerintah Belanda untuk bisa belajar di negeri Kincir Angin tersebut. Namun,karena beliau telah menikah, yang dalam tradisi adat Jawa, tidak memperbolehkan seorang wanita yang sudah menikah jauh dari suaminya mengurungkan niat belajarnya. Mengetahui ada anak muda yang cerdas dan merupakan lulusan terbaik dari tiga kota sekaligus, maka kartini berkirim surat kepada temannya, Ny. Abendanon yang merupakan istri pejabat di negeri Belanda yang berwenang menentukan beasiswa untuk mengalihkan beasiswa kepada Agus Salim. Pengajuan pengalihan beasiswa R.A. kartini kepada Agus Salim disetujui oleh pemerintah Belanda. Membaca biografi Agus Salimkita dapati, kalau dia orang yang memiliki kemerdekaan diri yang tinggi. Beasiswa dari pemerintah Belanda justru ditolaknya, karena Ia tahu, itu bukan murni atas prestasinya, namun karena atas permintaan seorang bangsawan bernama Kartini. Dia justru merasa tersinggung atas perlakuan yang tidak adil tersebut.

Dalam biografi Agus Salim disebutkan, pada tahun 1906 bersamaan dengan gagalnya dia melanjutkan sekolah, beliau mendapatkan tawaran kerja sebagai penerjemah di konsulat Belanda di Jeddah, Arab Saudi. Beliau menerima pekerjaan tersebut dalam kurun waktu 2 tahun antara tahun 1909 sampai 1911. Disela-sela pekerjaannya, beliau menimba ilmu lebih jauh tentang agama Islam kepada Syech Ahmad Khatib, seorang Imam di Masjidil Haram yang juga pamannya sendiri dan merupakan guru dari KH. Hasyim Asy`ari pendiri NU dan KH. Ahmad dahlan Pendiri Muhammadiyah. Selain belajar agama, beliau juga belajar mengenai ilmu diplomasi dan politik. Perpaduan ketajaman ilmu Agama, ilmu Politik, Kemampuan Bahasa asing dan kecerdasannya yang tinggi membuatnya menjadi pribadi yang disegani. Saat pulang ke tanah air, beliau langsung aktif dalam pergerakan nasional dan juga mendirikan Sekolah HIS (Hollandsche Inlandesche School.

Melanjutkan biografi Agus Salim, perjuangan politiknya diawali saat bergabung dengan Serikat Islam pada tahun 1915 yang dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto dan Abdul Muis. Beliau sempat menjadi anggota Volksraad ( semacam DPR/MPR) dari perwakilan SI di pemerintah Hindia Belanda menggantikan seniornya HOS Tjokroaminoto dan Abdul Muis. Agus Salim tidak bertahan lama dan mengalami kekecewaan atas kebijakan pemerintah Hindia Belanda sebagaimana pendahulunya dan berkesimpulan berjuang dari dalam tidak efektif hingga memutuskan focus berjuang melalui SI. Pada tahun 1923 SI pecah secara ideolgi menjadi SI kiri atau SI merah yang berideologikan ke ``kiri`` yang dipimpin oleh Semaun dan Darsono yang menjadi cikal bakal PKI dengan SI kanan atau SI Putih yang berhaluan ideology kanan, dimana Agus Salim tergabung didalamnya dengan Tjokroaminoto. Agus Salim sering mendapat tuduhan sebagai mata-mata Belanda, namun ditepisnya dengan keberaniannya untuk mengkritik pemerintah Belanda melalui pidato-pidatonya. Agus Salim menjadi pimpinan puncak SI menggantikan HOS Tjokroaminoto yang wafat pada tahun 1934. Selain di SI, beliau mendirikan juga organisasi Jong Islamieten Bond dan melakukan perubahan pola pikir dari yang kaku ke Islam moderat dengan meniadakan hijab pemisah antara tempat duduk laki-laki dan perempuan pada kongres ke 2 Jong Islamieten Bond di Yogyakarta tahun 1927.

Membaca biografi Agus Salim lebih dalam kita menemukan keterlibatan beliau sebagai anggota PPKI yang mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Setelah kemerdekaan Indonesia, beliau mendapat mandate sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung. Pada Kabinet Syahrir I dan II, beliau di tunjuk menjadi Menteri Muda Luar Negeri. Begitu pula pada cabinet Hatta. Berlanjut setelah kedaulatan Indonesia diakui oleh internasional, beliau ditunjuk menjadi penasihat Menteri Luar Negeri. ``The Grand Old Man`` adalah julukan terhadap Agus Salim, karena kepiawainnya dalam berdiplomasi yang tidak tertandingi pada jamannya. Salah satu contoh, beliau sangat cerdik untuk mendapatkan pengakuan atas kemerdekaan Indonesia dari Negara Jerman. Negara Jerman yang merasa keturunan bangsa Arya berlaku sombong dan menganggap rendah Negara atau orang yang tidak bisa berbahasa Jerman. Maka, saat kunjungannya sebagai Menteri Luar Negeri, dia menyusun naskah pidatonya dalam Bahasa Jerman yang sangat fasih dan memukau petinggi Jerman hingga akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia.

Menelaah biografi Agus Salim, kita akan menemukannya sebagai sosok yang merdeka dalam berpikir dan bertindak. Beliau tidak mau terkungkung dalam batasan-batasan, termasuk mendobrak tradisi Minang yang menurutnya kolot. Walaupun seorang tokoh yang disegani dan sangat cerdas, penampilannya sangat sederhana,sering hanya menggunakan sarung dan peci. Beliau tidak tidak memiliki brumah tetap dan selalu berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain. Di tiap kota, beliau hanya menyewa rumah yang kecil dan sederhana. Dalam hal pendidikan anak, beliau mengajarnya sendiri atau home schooling kalau dalam istilah sekarang. Hanya anaknya yang paling kecil yang disekolahkan secara formal. Beliau beranggapan, semua keahliannya tidak diperoleh disekolah formal, namun lebih karena belajar mandiri atau otodidak dengan ``learning by doing``. Beliau melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Belanda dalam hal pendidikan dengan berujar`` saya telah melalui jalan berlumpur akibat pendidikan kolonial``. Haji Agus Salim begitu akrab panggilannya di lintasan sejarah, wafat dalam usia 70 tahun tepatnya pada 4 November 1954 dan dimakamkan di TMP Kalibata. Atas segala jasa dan perjuangannya, beliau mendapat anugerah sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia yang tertuang dalam Keppres nomor 657 tertanggal 27 Desember 1961.

    Pendidikan Agus Salim    
§     Europeesche Lagere School (ELS)
§     Hoogere Burgerschool (HBS)
    Penghargaan Agus Salim    
§     Pahlawan Nasional Indonesia SK Keppres nomor 657 tahun 1961

Sejarah Pemadam Kebakaran Indonesia

          Brandweer atau pemadam kebakaran belum ada di Batavia hingga awal abad 20. Di masa sebelum brandweer ada orang mengandalkan jasa tukang ronda. Tiap lingkungan atau rumah warga diwajibkan menyiapkan kentongan kayu serta pasir. Kentongan ini dipukul saat terjadi kebakaran, dan bencana lainnya, sedang pasir digunakan untuk pemadaman awal kebakaran.
  . 
           Cara menangani kebakaran seperti itu tentu lama kelamaan dianggap tidak efektif sehingga tidak dilanjutkan lagi, demikian tertulis dalam buku "Jaarboek van Batavia en Omstreken". Dalam sidang-sidang kotapraja usulan mendesak agar kota praja punya satu korp pemadam kebakaran terus didengungkan.

           Pada tahun 1918 terjadi kebakaran besar di Kwitang. Momen itulah yang kemudian menyentak orang termasuk para petinggi kota praja karena kebakaran besar itu tak mampu dipadamkan hanya dengan sistem anak pompa tadi. Akhirnya, persis di tahun baru 1919 secara resmi Kotapraja Batavia memiliki pemadam kebakaran.

          Persoalan tak lantas selesai. Masalah bagaimana mendapatkan air dengan cepat menjadi masalah selanjutnya. Seringkali kebakaran terjadi di kawasan yang jauh dari sumber air, sungai, misalnya dan saluran air yang mungkin ada di dekat lokasi kebakaran seringkali kering di musim kemarau dan berlumpur pula. Untuk mengatasi masalah itu lahirlah sumur kebakaran yang dibikin di beberapa tempat. Air sumur bor dialirkan ke sumur kebakaran.

          Markas Pemadam Kebakaran Kota praja Batavia ini masih ditempati oleh Pemadam Kebakaran DKI Jakarta, yaitu di Gang Ketapang. Di abad 20 itu tangsi pemadam kebakaran memiliki kantor, ruang jaga, dan garasi dengan tiga mobil penyemprot air. Enam sepeda juga jadi bagian dari perangkat pemadam kebakaran ini. dan kini pemadam kebakaran mulai berkembang di jakarta saja sudah ada enam sudin pemadam kebakaran jakarta pusat, jakarta utara, jakarta barat, jakarta selatan, jakarta timur dan sudin pulau seribu serta didukung upt pusdiklatkar.